Di tahun 1980-an beberapa media cetak 'dijewer' pemerintah (baca: Deppen/Departemen Penerangan) karena menulis berita yang memuat terminologi "muntaber". Rupanya, pemerintah merasa dikangkangi media massa karena sudah ada pernyataan, dan mungkin laporan ke WHO, bahwa Indonesia bebas "muntaber".
Tapi, ada media massa yang lolos dari jeweran pemerintah karena tidak menulis kata berupa terminologi "muntaber". Judul berita dan dalam tubuh berita yang ditulis adalah 'muntah-muntah dan berak-berak' dengan penjelasan dokter memberikan obat berupa cairan oralit. Ini kan sami mawon dengan 'muntaber', tapi dalam pandangan pemerintah waktu itu berbeda karena yang dinyatakan tidak ada lagi di Indonesia adalah 'muntaber'.
Itu artinya deskripsi jadi penting karena menyampaikan fakta. Ada dua kasus status di Facebook yang sampai ke meja hijau karena menyebut pejabat setempat 'goblok'. Nah, kalau saja ditulis dalam deskripsi 'kegoblokan' pejabat, misalnya, tentang pemakaian anggaran dalam APBD dikaitkan dengan fakta di lapangan tentu tidak perlu pakai kata 'goblok' karena seorang pejabat yang tidak menjalankan amanah rakyat sudah termasuk kategori itu.
Kita ke inti persoalan yaitu "kasusacho" yang sekarang ada di ranah polisi. Di bawah judul tulisan di blog dengan judul "Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya" ada foto dengan sebuah spanduk yang bertuliskan huruf kapital warna hijau "JANGAN BELI APARTEMEN GREEN PRAMUKA" BANYAK PENIPUAN PENIPUAN YANG MERUGIKAN. Keterangan foto disebutkan: Sejumlah Penghuni Green Pramuka City yang merasa kecewa, menuntut sertifikat dan menolak bayar biaya-biaya yang mirip "pungutan liar".
Pertama, spanduk itu tidak dibawa oleh penghuni yang sedang berunjuk rasa. Ini bisa menimbulkan dugaan bahwa spanduk itu bukan dipasang oleh penghuni.
Kedua, ada kalimat yang berupa ajakan agar tidak membeli apartemen.
Ketiga, disebut sejumlah penghuni tapi dalam foto yang ada adalah gambar petugas keamanan yang membentuk pagar betis.
Keempat, dalam keterangan foto disebutkan bayar biaya-biaya yang mirip "pungutan liar". Ini tidak konkret. Kalau saja ditulis bahwa penghuni diwajibkan membayar tagihan tapi tidak disertai dengan tanda terima yang sah (kuitansi, nama dan alamat perusahaan, cap dan meterai) tentu akan lolos dari jerat hukum.
Dalam curhatan Acho disebutkan: Semua yang saya sampaikan di sini adalah fakta dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang jadi masalah besar adalah apakah semua hal yang disampaikan Acho dalam blog pribadinya sudah dikonfirmasi ke pengelola atau manajemen Apartemen Green Pramuka? Apakah Acho menulis surat berupa pertanyaan dan keluhan ke pengelola dengan tembusan ke instansi dan institusi terkait?
Mungkin, itulah pangkal masalah sehingga pengelola apartemen Green Pramuka membawa tulisan di blog itu ke ranah hukum. Mereka merasa tidak dikonfirmasi terkait dengan keluhan yang disampaikan dalam blog. Manajemen tidak menerima surat dari instansi atau institusi terkait, seperti Dinas Perumahan Pemprov DKI Jakarta dan YLKI, terkait dengan keluhan Acho.
Yang jadi pertanyaan adalah: (a) Apakah polisi memberikan nota kepada terlapor bahwa tulisan terlapor di blog pribadinya diadukan oleh pengelola apartemen? (b) Apakah polisi menyampaikan pemberitahuan kepada Acho bahwa kasus dalam tahap penyelidikan?