Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penurunan Jumlah Sperma dan 'Kepunahan' Umat Manusia

Diperbarui: 27 Juli 2017   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustasi (Sumber: BBC Indonesia/ JUERGEN BERGER/SCIENCE PHOTO LIBRARY)

Penurunan jumlah sperma 'dapat berujung kepunahan umat manusia'. Ini judul berita di "BBC Indonesia" (26/7-2017). Ini disimpulkan peneliti berdasarkan 185 hasil studi yang dilakukan antara tahun 1973-2011 yang menyebutkan terjadi jumlah sperma yang berkurang dalam kurun waktu 40 tahun belakangan ini terutama di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Selandia Baru. Salah satu faktor yang menentukan kehamilan adalah jumlah sperma yang keluar saat ejakulasi pada hubungan seksual penetrasi secara vaginal.

Peringatan para peneliti itu patut juga disimak karena selain jumlah sperma pada laki-laki di kawasan yang disebut tadi ada lagi beberapa kondisi yang mendorong 'kepunahan' manusia yaitu kematian terkait AIDS, penyakit, korban perang dan konflik, kematian sia-sia di jalan raya, perkawinan sejenis, berkeluarga dengan boneka silikon, keengganan menjalin perkawinan, dll.

Memang, seperti dikabarkan "BBC Indonesia" temuan Human Reproduction Update disikapi beberapa pakar dengan skeptis. Namun, Dr Hagai Levine, peneliti utama yang mengkaji ratuwsan studi tad justru wanti-wanti karena dia sangat khwatir apa yang kelak akan terjadi dengan kondisi sperma laki-laki yang (terus) berkurang jumlahnya. Lebih lanjut Dr Levine, pakar epidemiologi ini, mengatakan kepada "BBC" jika tren tsb. terus terjadi umat manusia akan punah.

Ilmuwan yang tidak terlibat dengan penelitian Dr Levine memuji penelitian Dr Levine, namun mereka menyebutkan kesimpulan Dr Levine terlalau awal dipublikasikan. Tapi, Dr Levine, Universitas Ibrani Yerusalem, mengingatkan jika warga dunia tidak mengubah pola hidup, tidak memperbaiki lingkungan dan tidak mengontrol penggunaan zat kimia, maka "Saya sangat khwatir pada ada yang akan terjadi di masa depan (terkait dengan umat manusia-pen.)," ujar Dr Levine.

Perbincangan tentang dampak buruk pola hidup, lingkungan dan zat kemia terhadap kesehatan, khususnya sistem reproduksi sudah lama bergulir. Tapi, studi dan penelitian yang dilakukan tidak sampai pada kesimpulan seperti yang diungkapkan Dr Levine. Kerusakan sistem reproduksi, kematian, keengganan melahirkan, dll. pada akhirnya, seperti dikhawatirkan Dr Levine, mungkin menuju ke kepunahan umat manusia.

Selain masalah reproduksi kepunahan umat manusia juga dipicu oleh epidemi penyakit menular dan penyakit tidak menular. Kematian terkait HIV/AIDS, misalnya, tahun 2016 dilaporkan oleh UNAIDS sebanyak 1 juta. Tahun 2016 saja diperkirakan 1,8 juta warga dunia tertular HIV yang bisa saja berakhir pada kematian karena banyak faktor. Kematian karena stroke, penyakit jatung, diabets, kolera, diare, TB, dll. juga mencapai jutaan setiap tahun. Penyakit-penyakit tsb. juga erat kaitannya dengan perilaku, kondisi lingkungan dan penggunaan zat kimia yang tidak terkontrol.

Kematian karena perang, konflik dan pertikaian juga memantikan puluhan bahkan ratusan ribu orang. Transportasi, terutama jalan raya, juga jadi penyumbang angka kematian. Laoran WHO (Badan Kesehatan Dunia) menyebutkan angka kematian global tahun 2014 mencapai 1,24 juta per tahun. Diperkirakan, angka tersebut akan meningkat hingga tiga kali lipat menjadi 3,6 juta per tahun pada 2030 (republika.co.id, 6/11-2014). Di Indonesia saja setiap tahun 30.000-an nyawa melayang di jalan raya.

Perkawinan sejenis pun menurunkan jumlah kehamilan yang pada akhirnya mengurangi jumlah bayi yang lahir. Sudah duapuluhan negara di dunia yang melegalkan perkawainan sejenis. Di beberapa negara juga ada keengganan warganya untuk melahirkan anak sehingga mereka memilih hidup sendiri. Di Jepang kian banyak laki-laki yang memilih 'berkeluarga' dengan boneka silikon.

Kekhawatirkan Dr Levine bukan tanpa alasan karena hasil penelitian menunjukkan penurunan konsentrasi sperma mencapai 52,4 persen, sedangkan penurunan jumlah sperma secara total sebesar 59,3 persen pada laki-laki di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Selandia Baru.

Mungkin ada yang skeptis dengan hasil penelitian Dr Levine ini dengan mengatakan bahwa di belahan benua lain 'kan tidak terjadi penuruan sperma. Namun, jangan menepuk dada dahulu dengan asumsi itu karena penelitian terkait dengan kondisi sperma di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika sangat sedikit sehingga tidak menunjukkan hasil yang berarti terkait dengan sinyalemen Dr Levine.

Kelompok yang skeptis mengatakan penelitian tentang kualitas sperma di negara-negara berkembang cacat karena hanya dilakukan terhadap laki-laki yang berkunjung ke klinik-klinik kesuburan. Kritik lain terhadap kesimpulan Dr Levine adalah tentang metode penelitian dengan patokan jumlah sperma yang bisa menghamili.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline