Kapal pesiar sekelas MV Caledonian Sky bisa kandas di perairan Raja Ampat, Papua Barat? Kapal dilaporkan kandas tanggal 4/3-2017. Ini pertanyaan pertama yang sangat mendasar karena kapal itu tentu saja ‘dipersenjatai’ dengan peralatan canggih untuk kelancaran dan keselamatan pelayaran. Kok bisa kandas?
Sebuah media online khusus tentang cruise menyebutkan tempat kandas kapal adalah “one of the most bio-diverse coral reefs in the world” (cruisecapital.co.uk, 8/3-2017). Itu artinya nakhoda kapal itu mengabaikan kekayaan alam negeri. Dengan bobot 4.200 ton dan panjang kapal 90,6 meter dengan kapasitas 114 penumpang dan 70 ABK kerusakan terumbu karang mencapai areal 13,532 meter persegi (mongabay.co.id, 15/3-2017). Maka, amatlah layak kalau kemudian Indonesia menuntut ganti rugi kepada operator kapal pesiar itu.
Kedua, kapal kandas di terumbu karang. Ini mengindikasikan nakhoda kapal tahu persis lambung kapal tidak akan sobek karena terumbu karang ibarat tulang rawan. Dalam dunia pelayaran nakhoda pasti akan menghindari jalur batu karang yang al. ditandai dengan peringatan dari lampu mercu suar.
Ada ‘rahasia’ yang jarang diketahui awam tentang mercu suar. Ternyata setiap lampu suar berbeda kedipannya per menit. Nah, navigator di kapal akan menghitung kedipan lampu dari mercu suar. Hasil hitungan akan dicocokkan dengan data di peta pelayaran yang memuat jumlah kedipoan per menit pada tiap mercu suar. Nah, dengan cara ini adalah hal yang mustahil kapal pesiar itu salah jalur.
Lagi pula, seperti disebutkan oleh Dirjen Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Karliansyah laporan dari Kepala Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Sorong, Jhonny Rumbu Silalahi, bahwa Caledonian Sky sudah empat kali masuk ke perairan Raja Ampat (detiknews, 17/3-2017).
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan kapten kapal pesiar MV Caledonian Sky, Kapten Keith Michael Taylor, pernah melakukan pelanggaran di perairan Indonesia. "Kaptennya pernah membuat pelanggaran di Kuala Tanjung (Sumatera Utara) di mana dia merapatkan kapal tidak sesuai aturan yang ada," kata Luhut (beritasatu.com, 16/3-2017).
Ketiga, kapal dengan sendirinya bisa lolos. Ini bisa jadi nakhoda memanfaatkan situasi pasang dan surut air laut. Ketika air laut surut kapal berjalan pelan bahkan berhenti di atas terumbu karang. Ketika air pasang kapal otomatis terapung di atas terumbu karang dan melanjutkan pelayaran cruise membawa pelancong mengarungi samudera.
Keempat, apakah tidak ada aturan main tentang batas perairan yang boleh dilayari kapal dengan ukuran tertentu? Dengan ukuran 4.200 ton, apakah kapal pesiar itu layak mengarungi perairan Raja Ampat yang penuh dengan terumbu karang dan dengan kedalaman yang beragam?
Adalah lebih arif mengatur batas perairan yang boleh dilayari kepal pesiar. Dalam kaitan ini jauh lebih baik dan ekonomis kalau kapal bersandar di pelabuhan Sorong, para wisatawan dibawa ke Raja Ampat dengan kapal-kapal penduduk. Di satu sisi menyelamatkan kekayaan alam, di pihak lain memberikan kesempatan kepada penduduk mendapat uang dengan menyewakan kapal.
Adakah missi tertentu yang ikut bersama pelayaran wisata itu? Ini yang jadi pertanyaan besar bertolak dari empat fakta di atas.
Bisa saja ada kegiatan mata-mata untuk mengetahui jalur bawah air laut yang aman untuk kapal selam. Kalau tidak ada udang di balik batu, untuk apa nakhoda kapal itu ‘mendaratkan’ kapalnya di atas terumbu karang yang bisa saja berisiko terhadap keselamatan pelayaran?