Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Anda Bisa Tiru Cara Keluarga Jepang Ini Lakukan Edukasi Seks

Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: uriopenminds.wikispaces.com)

Suatu hari seorang anak perempuan, usia SD, bertanya kepada sepupunya, lulus SMA,  mengapa tidak salat. “Oh, lagi mens, ya, Mbak,” kata si anak dengan enteng.

Apa yang terjadi kemudian? Anak tadi dia marahi sambil memberikan ‘wejangan’ bahwa informasi tentang menstruasi itu tabu. Tapi, si anak tidak merasa bersalah karena ayahnya sudah memberikan penjelasan yang akurat tentang seksualitas yang sesuai dengan usianya.

Ketika belajar di kelas 3 sebuah SMP nun di Kota Padangsidimpuan, di bagian selatan Sumatera Utara, akhir tahun 1960-an seorang siswi merah padam mukanya dan teman-temannya berusaha mengelilingi siswi tadi agar roknya yang memerah tidak terlihat. Rupanya, siswi itu pertama kali menstruasi.

Mimpi Basah dan Menstruasi, Salahkah?
Dua kejadian itu menunjukkan pemahaman terhadap seksualitas, dalam hal ini menstruasi, yang sangat rendah. Pertama, mens bukan aib karena itu menunjukkan kesehatan. Jika tidak mens secara teratur kemungkinan hamil atau ada kelainan metabolisme tubuh. Kedua, anak-anak perempuan tidak dipersiapkan menghadapi menstruasi sehingga ketika terjadi mereka bingung, ketakuatan, dll.

Begitu juga dengan anak laki-laki karena tidak dibekali dengan informasi tentang seksualitas maka banyak yang bingung ketika pertama kali mengalami ‘mimpi basah’. Celakanya, kalau mereka bertanya ke orang yang lebih tua bisa jadi jawaban yang menyesatkan. Misalnya, disebutkan bahwa kalau sudah ‘mimpi basah’, maka harus disalurkan melalui hubungan seksual. Inilah salah satu faktor yang mendorong remaja ngeseks dengan pekerja seks komersial (PSK) dan waria.

Maka, insiden ‘penyakit kelamin’ (disebut IMS yaitu infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) di kalangan remaja pun sering terdeteksi karena mereka tidak mengetahui cara-cara mencegah penularan IMS. Bahkan, bisa jadi mereka tertular HIV/AIDS.

Masalah (pendidikan) seksualitas kembali menghangat ketika dalam buku “Aku Berani Tidur Sendiri” ada gambar dengan narasi yang mengarah ke onani. Reaksi keras pun muncul dari berbagai kalangan yang bermuara pada penarikan buku. Tentu saja cara ini tidak menyelesaikan masalah karena sekarang informasi seks, bahkan video hubungan seksual dengan mudah dicari di Internet. Tidak harus pakai PC atau laptop, tapi cukup dengan telepon genggam sudah bisa ditonton adegan sanggama.

Yang jadi masalah besar adalah remaja yang tertular IMS akan mencari pengobatan sendiri dengan membeli obat antibiotik di pedagang obat K-5. Celakanya, obat antibiotik yang ditawarkan tidak cocok untuk semua IMS sehingga remaja-remaja itu mengalami efek buruk, seperti demam yang berkepanjangan, rambut rontok, dll. Pernah kejadian seorang remaja yang demam tidak sembuh-sembuh biar pun sudah minum obat. Orang tuanya membawa Si Remaja ke rumah sakit. Orang tua remaja tadi kaget bukan alang kepalang. Bak petir di siang boleh mereka kaget mendengar keterangan dokter bahwa putra mereka tertular sifilis.

Pada usia remaja, terutama laki-laki, dorongan seksual sedang menggebu-gebu. Nah, banyak pihak yang membalut lidah dengan moral akan menyarakan penyaluran yang ‘positif’, seperti kegiatan di luar sekolah, olahraga, dll. Ini ‘kan naif.

Bayangkan, ketika seorang remaja putra ereksi di tengah malam buta, apakah dia ganti pakaian olahraga lalu lari-lari di depan rumah? Tentu saja secara alamiah nalurinya secara refleks akan melakukan onani. Yang membuat celaka ada di antara mereka yang mencari penyaluran seks dengan cara melakukan hubungan seksual dengan PSK atau waria. Bagi banyak orang dorongan hasrat seksual tidak bisa disalurkan dengan cara-cara di luar seks.

Ilustrasi (Sumber: uriopenminds.wikispaces.com)

Mencegah Kehamilan yang Tidak Diinginkan
Sebuah keluarga yang terdiri atas suami Jepang dan istri Jawa menjalankan cara-cara yang biasanya dilakukan masyarakat Jepang dalam mendidik anak-anak terkait dengan seks. Pada usia SD, ayah, ibu dan anak-anak mandi bersama. Ketika mandi itulah dijelaskan nama-nama organ seks dan fungsinya dan kapan dipakai untuk keperluan reproduksi. Informasi ini saya peroleh melalui wawancara dengan Si Istri di akhir tahun 1980-an di Jakarta.

Diberikan pula sugesti bahwa alat-alat reproduksi tersebut tidak boleh dipegang oleh orang lain karena organ-organ reproduksi itu merupakan milik pribadi yang harus dijaga dengan baik. Bahkan, disebutkan pipi pun harus dijaga agar tidak dicubit dan dicium orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline