Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Jumlah Kasus Kumulatif HIV/AIDS Indonesia Sudah Tembus Angka 300.000

Diperbarui: 7 Januari 2017   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: advocate.com

*Rehabilitasi bukan untuk PSK tapi untuk laki-laki yang gemar melacur ....

Selama penanggulangan HIV/AIDS dibenturkan dengan moral dan agama, maka selama itu pula insiden penularan (infeksi) baru HIV akan terus terjadi karena pemerintah tidak bisa menjalankan program yang konkret.

Perkiraan ahli epidemilogi kasus HIV/AIDS di Indonesia sekitar 600.000. Yang sudah terdeteksi berdasarkan laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, 20/11-2016 sampai 30 September 2016 sebanyak 302.004. Itu artinya ratusan ribu pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penularan HIV di masyarakat tanpa mereka sadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

kasus-kumulatif-aids-per-september-2016-586f18d282afbd5e0f3928ed.jpg

Sanksi Germo
Ketika dua dekade yang lalu, pemerintah Thailand bak kebakaran jenggot karena kasus HIV/AIDS di Negeri Gajah Putih itu mendekati angka 1.000.000 dan pasien-pasien dengan penyakit terkait AIDS tidak tertampung lagi di rumah-rumah sakit, pemerintah Thailand pun menjalankan program penanggulangan yang konkret. Yang dilakukan adalah memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) yang dikenal sebagai program ‘wajib kondom 100 persen’.

Penanganan pasien dibantu oleh bhiksu melalui vihara. Sebuah vihara di Thailand menerima hadiah Magsaysay atas jasa vihara itu membantu pemerintah menangani Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Celakanya, di Indonesia justru anak-anak muda yang tidak setuju vihara menampung Odha. Hal ini diungkapkan seorang bhiksu di salah satu vihara di Jawa Tengah kepada penulis, waktu itu dalam kapasitas sebagai wartawan Tabolid “Mutiara”, di awal tahun 1990-an.

Sedangkan pemerintah menjalankan program mengurangi jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Thailand memberikan sanksi hukum kepada germo jika dalam tes survailans rutin ada PSK yang mengidap IMS (infeksi menular seksual yaitu kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, klamidia, dll). Jika ada PSK yang terdeteksi mengida IMS itu artinya ada laki-laki ‘hidung belang’ yang ngeseks dengan tidak memakai kondom.

Sanksi yang diberikan mulai dari teguran sempai pencabutan izin usaha. Inilah kemudian yang membuat germo memaksa laki-laki memakai kondom ketika ngeseks dengan PSK. Langkah spektakuler ini membuahkan hasil. Insiden infeksi HIV baru turun, al. ditunjukan dengan jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS turun drastis.

Program ‘wajib kondom 100 persen’ itu hanya bisa dijalankan dengan efektif jika praktek pelacuran dilokalisasi. Kalau praktek pelacuran tidak dilokalisasi, maka pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Keberhasilan Thailand itu pun dijadikan pola penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang diwujudkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Sampai Desember 2016 sudah ada 96 perda AIDS yang justru mengekor ke Thailand (Lihat: Syaiful W. Harahap - Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand). Celakanya, perda-perda itu lebih mengedepankan moral dan agama sebagai langkah pencegahan HIV/AIDS. Padahal, HIV/ADIS adalah fakta medis yang ditanggulangi dengan cara-cara yang konkret.

Rehabilitasi PSK
Selain itu sanksi pidana di perda-perda tersebut ditujukan kepada PSK yang terdeteksi mengidap IMS. Di Merauke, Papua, misalnya, sudah banyak PSK yang mendekam di penjara. Tapi, 1 PSK dibui germo bisa mendatangkan puluhan PSK ‘baru’. Di sisi lain sebelum PSK itu dikirim ke penjara sudah ada laki-laki yang tertular IMS, bisa juga sekaligus tertular HIV jika PSK tersebut mengidap HIV/AIDS.

Pemerintah tidak bisa melakukan intervensi karena sejak reformasi lokasi dan lokalisasi pelacuran ditutup. Kemensos dengan gegap-gempita menjalankan program penutupan lokasi pelacuran dengan memberikan bekal Rp 10 juta (Rp 5 juta dari Kemensos dan Rp 5 juta dari pemerintah setempat) yang disebut sebagai modal kerja. Ini sama saja dengan ‘menggantang asap’ karena sejak Orba program rehabilitasi dan resosialisasi PSK selalu gagal total [Lihat: Syaiful W. Harahap - Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an))]. Lagi pula pelacuran ada karena banyak laki-laki yang gemar melacur, maka yang diperlukan justru rehabilitasi perilaku bagi laki-laki ‘hidung belang’.

Ada anggapan yang salah di Indonesia bahwa dengan menutup tempat-tempat hiburan malam dan tempat pelacuran akan meredam penyebaran HIV/AIDS. Ini tentu saja tidak benar karena di negara-negara yang tidak ada industri hiburan malam sekalipun tetap saja ada kasus HIV/AIDS karena bisa saja laki-laki warga negara tsb. tertular HIV di luar negaranya. Laporan MoH Arab Saudi, misalnya, menyebutkan dari tahun 1984 – 2015 sudah terdeteksi 22.952 kasus AIDS, sebanyak 6.770 di antaranya orang Saudi asli (english.alarabiya.net, 1/12-2016).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline