Pertanyaan wartawan yang bertubi-tubi kepada berbagai pihak yang terkait dengan pelayaran di Muara Angke, Jakarta Utara, terkait dengan kebakaran Kapal Motor (KM) Zahro Express di Teluk Jakarta setelah berlayar 15 menit dari Pelabuhan Kaliadem, Jakarta Utara (1/1) hanya berkutat soal jumlah penumpang.
Padahal, ada hal-hal yang lebih penting ditanya karena menyangkut keselamatan penumpang dan anak buah kapal (ABK). Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara kelebihan penumpang dengan kebakaran di kapal itu,
Pulau Tidung merupakan salah satu objek wisata di Kepulauan Seribu yang terkenal karena ada jembatan penghubung antar dua pulau di sana. Kolong jembatan ini bisa dilewati oleh kapal pesiar sehingga menimbulkan kesan tersendiri bagi pengunjung yang melewati jembatan.
SOS
Maka, kalau saja wartawan jeli pertanyaan yang diajukan adalah:
- Sebelum diizinkan berlayar apakah Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Muara Angke yang meneluarkan izin berlayar sudah mengecek secara fisik: (a) jumlah pelampung, (b) tempat pelampung, (c) informasi cara-cara penyelamatan, (d) kondisi mesin kapal, (e) radio komunikasi, (f) alat pemadam kebakaran, (g) kesiapan ABK memadamkan api, (h) kesiapan ABK dalam membantu penumpang menyelematkan diri, dst?
- Dari gambar-gambar yang ditayangkan televisi sama sekali tidak ada tampak upaya memadakan api: Mengapa ABK tidak berusaha memadamkan api?
- Apakah ABK, khususnya markonis atau radio officer, disebut juga spark, mengirimkan pesan "SOS" (Save Our Souls) ke syahbandar dan kapal-kapal lain yang berlayar di Teluk Jakarta ketika terjadi kebakaran di kapal?
- Apakah di KM Zahro Express tersedia informasi yang jelas tentang prosedur penyelamatan jika terjadi kebakaran, kebocoran kapal, dll?
- Apakah ABK KM Zahro Express melalukan peragaan tentang cara-cara penyelamatan jika terjadi kebakaran, kebocoran kapal, dll.?
Lima pertanyaan ini jadi kunci yang terkait langsung dengan keamanan dan keselamatan penumpang Zahro Express, tapi tidak muncul ke permukaan.
Jika syahbandar tidak memeriksa kelengkapan kapal seperti pada poin 1 tapi memberikan izin berlayar tentulah hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum karena mengabaikan keselatan ABK dan penumpang.
Tapi, wartawan tetap saja bertanya soal jumlah penumpang. Bahkan, ketika mewawancarai Kepala KNKT pun yang ditanya tetap jumlah penumpang. Kalau jumlah penumpang melebihi kapasitas yang terjadi bukan kebakaran, tapi kapal oleng dan bisa tenggelam.
Jumlah penumpang saat itu 184. Kapasitas daya angkut kapal 285. Kapal berjalar menuju Pulau Tidur di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Korban tewas dilaporkan 23 dan hilang 17. Ada penumpang yang selamat mengatakan bahwa dia melihat dengan jelas tidak semua penumpang memakai pelampung (wartakota.tribunnews.com, 1 Januari 2017).
Terkait dengan jumlah penumpang yang perlu ditanya wartawan adalah: apakah syahbandar memberikan tiket resmi kepada semua penumpang?
Pemadaman Api
Jika ada penumpang yang tidak memegang tiket tentu akan jadi masalah besar untuk klaim asuransi. Banyak yang anggap remeh tentang tiket ini. Misalnya, jika sebuah kepal terbang kecelakaan kalau ada penumpang yang tewas atau luka-luka tapi duduk di kursi yang tidak sesuai dengan nomor kursi di boarding pass, maka asuransi akan menolak klaim penumpang tersebut.
Disebutkan dalam berita bahwa nakhoda KM Zahro Express menaikkan penumpang ke kapalnya biar pun tidak tercatat dalam manifes pelayaran. Diberitakan pula bahwa dalam manifes hanya ada tercatat 100 penumpang (kompas.com, 1 Januari 2017). Ini akan jadi persoalan bagi penumpang luka-luka dan tewas jika nama mereka tidak terdapat dalam manifes dan tidak pula memegang tiket resmi.