Kehadiran media sosial (social media), seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, dll. membawa perubahan besar dalam berkomunikasi melalui Internet. Yang semula hanya melalui e-mail dan grup, tapi sekarang setiap orang bisa menyebarkan informasi ke seluruh dunia melalui jagat maya. Kemajuan teknologi informasi ini semerta mengubah perilaku banyak orang dalam bekomunikasi.
Kalau selama ini informasi hanya bisa disiarkan oleh institusi resmi berdasar persyaratan yang diatur oleh UU, seperti media massa (media cetak dan media elektronik) dan media online atau portal berita, tapi sejak ada media sosial banyak orang yang merasa berhak menyebarkan ‘berita’.
Check and Re-check
Menyebarkan informasi melalui sosial media ini merupakan salah satu bentuk euforia ‘pers bebas’ yang dikenal sebagai free press atau pers bebas. Ini berbeda dengan kebebasan pers (freedom of the press) yang tetap berpegang teguh di koridor hukum, seperti UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Persoalannya kemudian adalah banyak orang yang menempatkan dirinya sebagai ‘sender’ sehingga merasa berhak menyebarkan informasi. Celakanya, banyak di antara informasi itu yang tidak benar yang belakangan dikenal sebagai ‘hoax’. Dalam kamus Merrian-Webster disebutkan: hoax adalah tipu daya agar orang percaya dan menerima sesuatu, dalam hal ini informasi, yang sebenarnya tidak benar sering tidak masuk akal.
Paling tidak analogi dari pernyataan Bang Hotman (Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Univ Airlangga Surabaya) ini. Orang-orang dan organisasi yang memakai atribut militer atau polisi bisa bertindak semaunya karena tidak ada aturan sesuai dengan atribut yang melekat pada diri mereka. Sentimen korps sangat kuat pada kalangan atau kelompok yang memakai artibut tertentu.
Nah, orang-orang atau organisasi yang menempatkan diri sebagai ‘wartawan’ akan menjadikan setiap kabar, isu, gosip dan informasti sebagai ‘berita’. Celakanya, karena mereka tidak terikat dengan UU Pers dan kode etik jurnalistik maka yang mereka sebut ‘berita’ itu justru bukan berita yang diatur dalam kaidah jurnalistik.
Bagi seorang wartawan isu, gosip, kabar angin dan informasi harus diuji dulu, yaitu apakah isu, gosip, kabar angin dan informasi bermanfaat untuk orang banyak (significance) dan melakukan check and re-check serta covering both side.
Wartawan terikat dengan norma, moral, etik dan hukum. Maka, tidaklah berlebihan kalau disebutkan bahwa sebelah kaki wartawan ada di penjara karena ada beberapa hal yang membuat wartawan wajib menanggung risiko.
Misalnya, menyembunyikan identitas narasumber. Ketika sebuah berita sampai ke meja hijau dan hakim memerintahkan untuk membuka identitas narasumber, kalau wartawan tidak mau membuka identitas narasumber maka wartawanlah yang masuk bui jika ada vonis pidana.
Itulah sebabnya dikenal ada ‘sensor’ di media massa yaitu berdasarkan UU Pers dan Kode Etik, dan yang lebih penting lagi adalah self sensoring yaitu memakai hati nurani untuk menimbang baik buruk sebuah berita terhadap kehidupan masyarakat dan pemerintah jika diterbitkan.