Bukan cerita baru kalau banyak warga negara Indonesia yang menyimpan uang di bank di luar negeri, seperti Singapura, Virgin Island, Cayman Island, Hong Kong dan Australia. Suku bunga tidak jauh berbeda dengan yang ditawarkan bank-bank pemerintah dan swasta nasional di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung harta WNI yang mengendap di Singapura mencapai Rp 730 triliun, yang sudah ‘kembali’ ke Indonesia berkat pengampunan pajak (tax amnesty) sebesar Rp 87,9 triliun (detiknews, 15/10-2016).
Lalu, apa alasan menyimpan uang di luar negeri?
Tentu saja 1001 macam alasan akan muncul. Tapi, dari aspek ril bisa saja ada ketakutan terkait dengan kebijakan moneter karena di Indonesia sudah terjadi tiga kali ‘pemotongan’ nilai mata uang dengan berbagai istilah, bentuk dan kepentingan.
Terkait dengan ‘pemotongan’ nilai mata uang itu dikenal ada senaring (memotong nilai mata uang) pada tahun 1950 dan 1959, serta redenominasi (menyederhanakan denominasi mata uang dengan mengungani digit angka 0 tanpa mengurangi nilai mata uang) yang diberlakukan pada tahun 1966 yaitu Rp 1.000 menjadi Rp 1 tapi gagal karena terjadi inflasi 650 persen.
Harga segelas kopi, misalnya, sebelum redenominasi pada tahun 1966 Rp 3.000. Nah, penjual kopi tidak mau menerima uang Rp 3 untuk segelas kopi yang akhirnya harga kopi ‘naik’ ke angka ribuan juga. Itu artinya ‘kan inflasi dan harga kopi itu jadi jutaan rupiah.
Sanering terjadi karena ketidakstabilan ekonomi yang juga dipengaruhi gemuruh politik yang diwarnai kepentingan banyak partai politik (parpol). Pertarungan politik berdampak pada situasi moneter. Itu di era parlementer yang jadi ajang ‘peperangan’ partai politik memperebutkan kekuasaan. Sedangkan di masa kabinet presidensial stabilitasi politik lebih terjamin, seperti yang dijalankan oleh rezim Orba dengan komando Presiden Soeharto pada kurun waktu 1966-1998.
Celakanya, di era reformasi UUD 1945 pun diamandemen sehingga kabinet Indonesia tidak lagi mutlak presidensial tapi sudah setengah-setengah karena hak-hak proregatif (istimewa) presiden sudah ‘diamputasi’ sehingga harus ada persetujuan DPR. Anggaran pun DPR terlibat sehingga menjerat beberapa anggota dewan ke ranah pebuatan yang melawan hukum, seperti suap dan korupsi.
Dengan jumlah parpol yang banyak amatlah sulit bagi partai yang berkuasa untuk merangkul parpol lain agar kuat di parlemen. Apalagi terjadi tarik-menarik dengan pijakan agama, gonjang-ganjing politik pun berdampak terhadap stabilitas politik dan moneter. Di awal-awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla, misalnya, kurs rupiah terhadap dolar terus terjadi yang nyaris menenmbus Rp 15.000 per 1 dolar AS. Berkat stabilitas politik dan paket-paket kebijakan ekonomi kurs 1 dolar AS pun ada di kisaran Rp 13.000.
Kondisi politik yang gonjang-ganjing itulah yang mengkhawatirkan orang-orang kaya terkait dengan hartanya karena ada bayang-bayang sanering dan redenominasi yang telah memorak-morandakan perekonomian nasional dan ‘merampas’ (nilai) harta kekayaan.
Penarikan tabungan dan deposito dari bank-bank pemerintah dan swasta nasional pada tahun 1986 besar-besaran (rush) dikabarkan terjadi karena ada isu tabungan dan deposito akan dijadikan obligasi (semacam surat utang pemerintah dengan bunga tertentu yang dapat diperjualbelikan). Tentu saja pemilik uang tidak mau repot-repot berutusan dengan pemerintah apalagi jangka waktunya ditentukan. Tentu akan banyak yang lebih memilih tabungan dan deposito yang jauh lebih praktis daripada obligasi.
Agaknya, kasus sanering dan redenominasi itulah yang ditakutkan oleh orang-orang kaya akan jadi ‘mimpi buruk’. Maka, stabilitas politik dan mengembalikan hak-hak proregatif presiden menjadi bagian yang penting dalam upaya meyakinkan orang-orang kaya bahwa sanering dan redenominasi tidak akan pernah (lagi) terjadi di Indonesia.