Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Tahanan Kabur “Sebagai Perempuan” adalah Penyamaran Konvensional

Diperbarui: 9 Juli 2016   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: christiinternational.com)

Tahanan Rutan Salemba yang kabur dengan menyamar sebagai perempuan bukanlah yang pertama terjadi (Kronologi Anwar Kabur dengan Menyamar sebagai Wanita dari Rutan Salemba, kompas.com, 8/7-2016). Tahun 2012 juga terjadi hal yang sama: Terpidana kasus terorisme, Roki Aprisdinto, 29, kabur dari rumah tahanan Narkoba Polda Metro Jaya. Jaringan teroris Klaten ini memaanfaatkan jam besuk tahanan untuk melarikan diri dengan memakai jubah dan cadar bersama rombongan pembesuk (kabar24.bisnis.com, 7/11-2012).

Kriminolog UI, (alm) Mulyana W Kusumah, dalam salah satu wawancara dengan penulis (1980-an) mengatakan bahwa di kalangan pelaku kriminal dikenal cara-cara penyamaran, antara lain dengan kumis, janggut, jambang, alis mata, pakaian, topeng, bedah plastik, dll. Ini, menurut Mulayana, adalah cara-cara penyamaran yang sangat konvensional (klasik).

Dengan dasar ini penyamaran yang konvensional itu petugas jaga di lembag pemasyarakatan (Lapas), rumah tahanan negara (Rutan) dan sel tahana di kantor-kantor polisi tidak perlu kebobolan karena kondisi itu menjadi bagian dari pemantauan.

Persoalannya adalah apakah petugas jaga memahami cara-cara penyamaran yang konvensional konvensional? Atau bisa jadi mereka tidak pernah menerima pendidikan atau pelatihan terkait dengan cara-cara penyamaran.

Maka, petugas yang ‘kebobolan’ karena terperdaya pakaian perlu dijadikan sampel penelitian tentang pandangan dan pemahaman mereka terhadap nilai-nilai yang ada di masyarakat terkait dengan perempuan dan pakaian yang disebut-sebut sebagai ciri agama. Analisis dari penelitian ini bisa dijadikan bahan pendidikan bagi petugas-petugas yang terkait langsung dengan penjagaan napi dan tahanan.

Kita yakin Ditjen PAS dan Polri mempunyai standar prosedur operasi yang baku dalam menangani napi dan tahanan ketika menerima tamu atau pada waktu besuk. Nah, ada kemungkian standar tidak menyentuh hal yang sangat mendasar terkait dengan pola pikir petugas jika berhadapan dengan ‘perempuan’ dan ‘yang berpakaian agamis’.

Selain itu dikhawatirkan petugas keamaman, termasuk Satpol PP dan Satpam, termakan sterorype yang dikembangkan kolonial Belanda yaitu “orang miskin adalah orang jahat” hanya karena tidak mau membayar upeti, semacam pajak. Padahal, mereka terperangkap dalam kemiskinan dan, meminjam istilah Clifford Geertz (antropolog asal AS yang banyak meneliti di Indonesia dan Maroko, salah satu bukunya yang terkenal yaitu “Involusi Pertanian”), terjadi involusi pertanian. Maka, tidak mengherankan kalau kemdian petani memakai seni, seperti lawak, goro-goro, dan lukisan, sebagai ‘tameng’ agar lolos sementara dari kewajiban yang dititahkan raja.

Pola pikir atau framing yang dikembangkan kolonial Belanda itu terus berlangsung sampai seakarang. Contoh yang sangat faktual adalah kalau kita jalan kaki ke kantor pemerintah dan swasta serta ke hotel berbintang, maka Satpa dengan muka yang diseram-seramkan akan menghardik: “Mau ke mana?”

Sebaliknya, yang datang memakai mobil dan taksi tidak pernah ditanya “Mau ke mana?” Ini bukti framing Belanda terus ada sampai sekarang. Kalau memang memakai pijakan keamanan, maka semua yang melewati gerbang ditanya: “Mau ke mana?”

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian ‘pabrik dan markas pengedar narkoba’ dan pembaut uang palsu (upal) tumbuh subur di apartemen dan perumahan mewah karena Satpam nyali Satpam tidak akan bisa melawan silau pakaian, aksesoris dan mobil tamu yang melewati gerbang pemeriksaan.

Selain memakai bahan hasil penelitian tadi, perlu juga dipikirkan materi psikologi agar petugas keamanan dan Satpam bernyali mengahadapi orang-orang yang naik mobil mewah dengan pakaian dan aksesori mewah dengan menerapkan standar keamanan yang objektif. Ini salah satu kunci untuk menangkal kejahatan terorganisir melalui (seleksi) keamanan. ***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline