Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Program BPJS Kesehatan dengan “Gotong Royong Semua Tertolong demi Indonesia yang Sehat”

Diperbarui: 29 Juni 2016   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: ehealth.eletsonline.com)

“Orang miskin dilarang sakit.” Slogan ini menggambarkan situasi kesehatan nasional yang meminggirkan penduduk yang tidak mempunyai uang untuk berobat baik di rumah sakit pemerintah apalagi di rumah sakit swasta. Baru di meja pendaftaran, bahkan pada kasus gawat darurat, bagi yang tidak bisa menyerahkan uang muka akan langsung balik badan. Tapi, sekarang slogan itu sudah tinggal kenangan karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjamin pengobatan dan kesehatan rakyat Indonesia tanpa kecuali dengan catatan jadi peserta BPJS Kesehatan tentunya. Untuk itulah diharapkan semua warga negara sebagai peserta aktif dan pasif BPJS Kesehatan.

Jumlah peserta BPJS dan ketaatan membayar iuran menjadi penting karena program ini merupakan bagian dari program pemerintah untuk meningkatkan kesehatan warga. Soalnya, sampai saat ini BPJS Kesehatan masih tekor. Diperkirakan defisit anggaran BPJK tahun ini mencapai Rp 6,827 triliun. Untuk itulah, seperti dikatakan oleh Bayu Wahyudi,  Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, dalam acara “Nangkring BPJS Kesehatan-Kompasiana: Gotong Royong Demi Indonesia yang Lebih Sehat” (Jakarta, 25/5-2016), keikutsertaan semua penduduk dalam program ini menjadi penting karena iuran anggota akan membantu sesama.

Nunggak Iuran

BPJS Kesehatan dibentuk berdasarkan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang awalnya dikenal dengan nama PT Asuransi Kesehatan (Askes) Persero. BPJS Kesehaan secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Dalam perjalanan menuju tahu ketiga BPJS Kesehatan seakan terseok-seok karena pengeluaran jauh lebih besar daripada penerimaan melalui iuran anggota. Persoalan kian runyam karena banyak peserta BPJS Kesehatan yang hanya bayar sekali ketika hendak berobat, seterusnya tidak bayar lagi. “Aduh, kami sering berhadapan dengan pasien yang membawa kartu BPJS Kesehatan dengan tunggakan berbulan-bulan,” kata seorang dokter di sebuah fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat pertama yang menerima peserta BPJS Kesehatan di bilangan Pisangan Timur, Jakarta Timur.

Pihak Faskes, seperti dikatakan dokter tadi, berada dalam posisi yang terjepit dan serba sulit. Kalau diterima tentulah klaim ke BPJS Kesehatan akan ditolak. “Kalau tidak diterima akan jadi masalah besar karena dianggap menelantarkan penduduk miskin yang akan berobat,” kata dokter tadi mengeluh.

Untuk itulah diharapkan BPJS Kesehatan mempunyai program advokasi agar peserta BPJS Kesehatan rutin membayar iruan biar pun tidak sakit. Karyawan dan dokter di Faskes yang kerja sama dengan BPJS Kesehatan perlu dibekali cara-cara yang praktis untuk meningkatkan kesadaran peserta BPJS Kesehatan agar membayar iuran secara rutin. Diharapkan peserta tidak lagi menghadapi masalah ketika berobat dan Faskes pun tidak pula rugi karena klaim mereka ditolak hanya karena pasien sebagai peserta BPJS menunggak iuran.

Peserta BPSJ Kesehatan yang tidak rutin membayar iuran beranggapan bahwa mereka akan rugi membayar iuran karena tidak dipakai untuk berobat. Padahal, jika dihitung-hitung membayar iuran jauh lebih aman daripada menabung uang iuran sebagai biaya berobat kalau sakit. Dengan membayar iuran rutin untuk kelas tiga Rp 25.500/peserta/bulan, BPJS Kesehatn akan menanggung biaya pengobatan hingga sembuh yang bisa mencapai puluhan juta rupiah. Kalau uang Rp 25.000 disimpan atau ditabung tidak akan bisa membayar biaya pengobatan dengan penyakit seringan apa pun karena tarif di klinik swasta saja rata-rata di atas Rp 60.000 sekali berobat dengan obat untuk tiga hari.

Defisit Anggaran

Pandangan seperti inilah yang perlu disebarluaskan oleh BPJS Kesehatan agar masyarakat memahami pertanggungan kesehatan yang jumlahnya bisa mencapai puluhan juta rupiah hanya dengan membayar iuran yang sangat kecil. Peserta yang memilih kelas dua membayar iuran Rp 51.000/peserta/bulan, dan kelas satu Rp 80.000/peserta/bulan.

Iuran BPJS Kesehatan sendiri, menurut Bayu, jauh di bawah perhitungan aprasial. Iuran untuk kelas tiga, misalnya, angka yang layak secara ekonomis adalah Rp 28.000/bulan. Dengan iuran Rp 25.500/bulan itu artinya peserta sudah disubsidi oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 2.500/bulan untuk tiap peserta yang memilih kelas tiga. Bahkan, biar pun Perpres No 19 dan No 28 Tahun 2016 yang mengatur besaran iuran pihak BPJS tidak menaikkan besaran iuran peserta kelas tiga. Langkah yang arif karena tanpa dinaikkan saja banyak yang menunggak, apalagi dinaikkan bisa jadi kian banyak yang menunggak iuran yang pada akhirnya mengganggu program.

Untuk menanggulangi defisit BPJS Kesehatan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, membicarakan alokasi pembiyaan nonutang dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2016 dengan Komisi XI DPR (detiknews, 20/6-2016).  Tidak ada pilihan selain menyuntikkan dana keapda PBJS Kesehatan karena iuran dari peserta tidak bisa diandalkan sementara pengobatan beberapa jenis penyakit tidak bisa ditunda-tunda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline