Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Pembiaran Pelecehan Seksual (Bisa) Jadi “Bibit” sebagai Pelaku Kejahatan Seksual

Diperbarui: 10 Juni 2016   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Dulu saya pernah menjadi korbannya bang.. namun kejadiannya waktu sd. Saya cuma bisa marah dan menangis. Ketika mengadukan kepada guru tidak ada respon hukuman buat teman saya bang. Jika itu dialami oleh para peserta didik di sekolah tindakan guru seharusnya seperti apa nggeh bang? Terlebih lagi sekarang guru saja bisa dilaporkan oleh siswa.”

Itulah tanggapan seorang rekan (cewek) di Facebook terhadap posting-an saya: Perilaku laki-laki yg menyalurkan dorongan seksual dng cara menggosok-gosokkan alat kelaminnya ke badan perempuan di tempat umum, seperti buskota dan kereta api, disebut Frotteurism atau Frotteuris .... Ini salah satu bentuk parafilia yaitu orang-orang yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara yang lain sebagai deviasi orientasi seksual (Parafilia:Menyalurkan Dorongan Hasrat Seksual “Dengan Cara yang Lain”).

Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu, tapi Facebookers tadi tetap mengingat pelecehan yang dia alami. Sayang, teman kita itu tidak menceritakan jenis kelamin guru kelasnya. Pengalaman teman kita itu jadi realitas sosial yang juga merupakan puncak dari ‘fenomena gunung es’. Banyak kasus yang terjadi tapi hanya satu yang muncul.

Jika pelecehan seksual, bahkan perkosaan, banyak orang,  bahkan perempuan yang justru membela pelaku pelecehan dan pemerkosa, dengan menyalahkan korban karena cara berpakaian, cara berjalan, dst.

Belakangan dua perempuan menteri dengan statement yang tegas membela pemerkosa dan pembunuh seorang gadis siswi SMP di Rejang Lebong, Bengkulu: Pelaku dipengaruhi miras dan pornografi (Publikasi Motif Kejahatan di Media Massa Jadi Inspirasi: “Saya Memerkosa Karena Pengaruh Miras dan Pornografi, Bu M**t**i ....”).

Yang tidak masuk akal Menteri PPA Yohana justru menyalahkan orang tua Yn, gadis yang diperkosa dan dibunuh di Bengkulu. Pernyataan menteri ini merupakan ‘the second rape’ dan ‘the second murder’ terhadap Yn (Menteri Yohana Salahkan Ortu Yn, Abaikan Tanggung Jawab Ortu 14 Begundal Pemerkosa dan Pembunuh Yn).

Kalau saja dua menteri itu melihat kasus hukum di Amerika Serikat (AS), maka mereka tidak pantas mengatakan hal itu karena di AS pelaku kejahatan dan pelanggar aturan lalu lintas hukumannya diperberat kalau dalam kondisi dipengaruhi alkohol melewati ambang batas.

Sudah jamak terjadi anak-anak muda akan bersuit-suit jika ada cewek yang lewat di dekat mereka. Bahkan, ada yang mengeluarkan kata-kata yang bernada pelecehan seksual (verbal). Celakanya, hal itu dianggap biasa oleh banyak orang. Malah, ada juga yang menyalahkan cewek-cewek yang disuit dan dilecehkan.

Perilaku dua penumpang Garuda Jakarta-Yogyakarta yang melecehkan pramugari secara verbal menunjukkan sikap sebagian laki-laki yang menempatkan diri sebagai ‘penguasa’ dalam konteks patriarkat (Pelecehan Verbal Penumpang Garuda: Salah Persepsi Laki-laki terhadap Keramahan Perempuan).

Di beberapa peraturan daerah (Perda) dengan balutan moral dan agama selalu saja menjadikan perempuan sebagai pihak yang dikalahkan: dilarang keluar malam, cara berpakaian diatur, dll.

Karena tidak kuat menahan syahwat, maka pilihan pun bukan menguasai diri tapi memaksa ‘sumber penggoda’ menutup bagian-bagian tubuh yang bisa membangkitkan syahwat. Maka, amatlah mengherankan mengapa siswi-siswi sekolah di Jakarta diwajibkan memakai rok sampai ke mata kaki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline