* (Uang) Korupsi Tidak Diharamkan secara Eksplisit dalam Kitab-kitab Suci
Ketika Teten Masduki, waktu itu aktivis antikorupsi, meminta Gus Dur ikut gerakan antikorupsi dengan harapan Gus Dur mendorong dari aspek agama harapan Teten sirna. Soalnya, Gus Dur menolak karena dalam agama dosa sebesar apapun bisa ‘dihapus’ melalui cara-cara yang diatur oleh agama.
Maka, ajakan KPK yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan jelas tidak bermakna bagi sebagian orang: "Kalau suaminya pulang membawa uang yang bukan gajinya, yang bukan haknya, dia harus bertanya, uang ini dari mana? Jangan sampai anak-anak hidup dari uang haram.” (PENCEGAHAN KORUPSI. KPK: Jangan Hidup dari Uang Haram, Harian “KOMPAS”, 2/6-2016).
Penjelasan Gus Dur itu objektif dan merupakan realitas sosial sehingga yang bisa melawan korupsi adalah hukum positif. Kalau pun kemudian ada pernyataan agamawan bahwa uang korupsi haram itu tidak akan berpengaruh karena itu hanya pendapat atau penafsiran.
Korupsi tentu saja dipahami banyak orang berbeda dengan mencuri karena mencuri adalah mengambil harta orang lain tanpa izin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan mencuri adalah “mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dng sembunyi-sembunyi”. Sedangkan haram disebutkan sebagai “terlarang (oleh agama Islam); tidak halal”.
Dalam kaitan ini pemahaman banyak orang bahwa milik orang lain itu, dalam bentuk benda, uang, perhiasan dan peralatan ada di dalam rumah, toko, mobil, dll. Mencuri yaitu mengambil dengan cara paksa, termasuk mencopet, menodong, dan merampok serta membongkar rumah, toko dan mobil.
Nah, korupsi sama sekali tidak terkait dengan kegiatan yang digambarkan secara umum tentang pencurian. Uang yang diambil sama sekali bukan milik seseorang atau keluarga. Pengambilan uang negara tidak dilakukan secara fisik, dll.
Di masyarakat sering muncul ‘pembenaran’ terkait dengan harta kekayaan yaitu dengan menyebutkan bahwa, al. ‘ini rezeki dari atas’. Jika ditilik dari aspek hukum tentulah pernyataan ‘rezeki dari atas’ (baca: rezeki dari Tuhan) tidak bisa diterima karena yang diperlukan adalah sumber atau asal-usul uang tsb. yang bisa dibuktikan secara formal.
Ketika pemerintah mengharuskan mengisi formilir tentang asal-usul uang yang akan disetor ke bank banyak nasabah bank yang menolak. “Pak, terima kasih bersedia mengisi formilir ini,” kata costumer service di salah satu bank BUMN di Jakarta kepada penulis di awal tahun 2000-an. Rupanya, banyak yang menolak dan marah-marah jika diminta mengisi kolom ‘asal uang’. Kalau memang sumbernya jelas dan tidak bertentangan dengan hukum mengapa harus menolak mengisi kolom asal-usul uang?
Di bagian lain di acara “Gerakan Saya Perempuan Antikorupsi” di Ambon (1/6-2016) Basaria mengatakan: "Kalau suaminya pulang membawa uang yang bukan gajinya, yang bukan haknya, dia harus bertanya, uang ini dari mana? .... ."
Adalah hal yang mustahil seorang istri bertanya kepada suaminya tentang asal-usul uang yang dibawa suami ke rumah. Ini juga terjadi karena gaji atau upah di instansi pemerintah dan perusahaan tidak dipublikasikan secara luas dan terbuka.