Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

“The Second Rape” dalam Berita di Kompas.com

Diperbarui: 21 Mei 2016   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian ketika menuju dapur korban diikuti tersangka. Lalu korban diangkat ke atas meja yang ada di dapur. "Pelaku kemudian membaringkan korban dan memperkosa korban di atas meja," kata Badarudin, Selasa (17/5/2016). Pernyataan ini ada di berita kompas.comPria Ini Perkosa Bocah 3 Tahun di Atas Meja Dapur” (17/5-2016).

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Pjs Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Badarudin, tentang latar belakang penangkapan Rudi Efendi alias Sarbo (20), pria asal Kabupaten Serang, yang ditangkap polisi karena diduga melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap bocah berusia 3 tahun di Kecamatan Sekadau Hilir, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Senin (16/5/2016).

Dalam jurnalistik berita yang merekonstruksi pembunuhan dan perkosaan dikenal sebagai ‘pembunuhan dan perkosaan kedua’, dalam hal ini perkosaan (the second rape). Motif dan cara-cara pelaku melakukan kejahatan tidak perlu diumbar ke publik karena itu adalah ranah hukum, yaitu menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara di sidang pengadilan.

Siapa yang memerkosa?

Berita yang memaparkan kejadian pembunuhan dan perkosaan melalui tulisan merupakan cara lain dalam melakukan pembunuhan dan perkosaan. Wartawan memakai kata-kata dalam kalimat yang dijadikan berita merupakan alat untuk melakukan pembunuhan dan perkosaan.

Dalam kasus ini polisi dan wartawan menempatkan diri mereka sebagai “pelaku” dengan menceritakan kejadian perkosaan tersebut. Jika dilihat dari relasi, polisi dan wartawan menempatkan diri sebagai subjek pada sisi yang berdaya atau mememang kendali (voice full dan power full), sedangkan korban diposisikan sebagai objek yang berdaya atau tidak memegang kendali (voiceless dan power less).

Kondisi ini menggambarkan penulisan berita yang tidak berempati (compassion) karena sama sekali tidak menggambarkan derita korban. Berita justru memberikan tempat kepada pelaku, yaitu penggambaran perlakuan pelaku terhadap korban.

Korban berumur tiga tahun. Perkosaan yang dia alami memang belum dipahami gadis cilik itu, tapi tentulah membekas dalam ingatannya apa yang dia alami. Sebagai orang dewasa kita tidak bisa masuk ke situasi yang dialami gadis cilik itu.

Pelaku dijerat Pasal 82 ayat 1 subsider pasal 76 huruf e UU No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU  No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancam hukuman 15 tahun penjara.

Kalaupun hakim memvonis maksimal 15 tahun, itu artinya pelaku keluar penjara umur 35 tahun, sedangkan korban berumur 18 tahun. Dalam sisa usianya bisa saja pelaku melakukan perbuatan-perbuatan dalam berbagai bentuk yang merugikan korban kelak. Celakanya, dalam kasus-kasus kejahatan seksual masyarakat pun selalu menyalahkan korban.

Kalau saja wartawan membalik paradigma berpikir dengan menempatkan diri pada posisi korban sehingga memegang kendali,  berita akan memberikan gambaran penderitaan korban terkait dengan relasi di masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline