* Alih fungsi lahan sawah dan ladang diwajibkan cetak sawah dan ladang baru ....
Sejak arus modal untuk industri dan perumahan mengalir ke Indonesia di awal tahun 1970-an, mulailah ‘perambahan’ terhadap lahan pertanian, seperti sawah beririgasi teknis, perladangan, perkebunan tanaman khusus, dll. Lahan-lahan produktif itu berubah menjadi pabrik dan permukinan. Maka, luas lahan sawah di Bekasi dan Karawang yang merupakan lumbung beras pun menciut dari tahun ke tahun.
Di Kab Bekasi, Jabar, misalnya, dari 58.000 hektar luas areal persawahan teknis pada tahun 2003 menyusut jadi 45.879 hektar pada tahun 2010. Itu artinya ada penyusutan 12.121 hektar dalam tempo tujuh tahun. Lahan sawah berigasi teknis itu berubah jadi kawasan industri dan perumahan (kompas.com, 22/6-2010). Dengan rancangan lahan abadi sawah seluas 52.000 hektar tentulah tidak mudah bagi Bekasi untuk menahan laju alih fungsi lahan.
Sedangkan di Kab Karawang, Jabar, diperkirakan 15.000 hektar sawah irigasi teknis akan berubah fungsi dari kawasan industri dan permukiman. Luas lahan sawah teknis di Karawang 93.000 hektar. Lahan yang dipatok tidak boleh alih fungsi 78.000 hektar (inilah.com, 3/7-2013).
Hal yang sama terjadi juga di kawasan Puncak (wilayah Bopunjur: Bogor-Puncak-Cianjur), Jabar. Lahan pertanian sayur-mayur beralih jadi kawasan wisata dengan bangunan villa, hotel, restoran, dll. Akibatnya, hasil sayur-mayur di Puncak terus turun sehingga pasokan ke Jakarta dan kota lain pun berkurang.
Celakanya, kondisi kehidupan pemilik lahan yang dirambah pelaku industri dan pengembang tidak berubah setelah menerima uang ganti rugi. Yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pemilik lahan yang justru kian miskin.
Bertolak dari nasib pemilik lahan di banyak daerah, terutama di kawasan pertanian teknis, akan lebih arif dan bijaksana jika Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta kepada PT Angkasa Pura (AP) I sebagai ‘pemilik’ bandar udara (bandara) yang akan dibangun di Kec Temon, Kab Kulon Progo, DI Yogyakarta, agar pemilik lahan, yang dibebaskan untuk bandara agar diperhatikan nasibnya. Jangan hanya membayar ganti rugi lalu lepas tangan.
Ganti rugi ditawarkan dalam bentuk saham sehingga ‘hak’ atas tanah itu tidak hilang ditelan masa. Anak-cucu pemilih lahan tetap bisa menikmati hasil ‘lahan’ keluarga melalui kepemilikan saham. Selain itu warga yang lahannya dibebaskan diberikan lowongan pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian.
Bukan cuma nasib pemilik lahan, tapi produksi sawah dan ladang yang dijadikan bandara pun perlu juga diperhitungkan. AP I diminta mencetak sawah dan ladang baru sebagai subsitusi lahan sawah dan ladang yang dibebaskan untuk bandara. Ini perlu untuk menjaga pasokan padi dan palawija agar tetap stabil.
Dengan luas lahan yang dibebaskan 650 hektar tentulah mempengaruhi pasokan padi dan palawija jika lahan yang dibebaskan itu merupakan areal persawahan dan perladangan. Untuk itulah diharapkan Sultan HB X bisa ‘menekan’ AP I agar membuka lahan persawahan dan perladangan baru sesuai dengan luas yang dibebaskan agar pasokan padi dan palawija tidak terganggu.
Selama ini lahan-lahan produktif yang ‘dijarah’ untuk keperluan di luar pertanian, seperti industri dan perumahan, tidak pernah diganti sehingga luas areal sawah produktif terus menyusut dari tahun ke tahun. Itu artinya pada titik tertentu Indonesia akan jadi negara pengimpor beras. Dengan jumlah penduduk kelak 300 juta jiwa tentulah memerlukan dana yang sangat besar untuk membeli beras ke luar negeri. ***