Saat Amelia hendak duduk, tiga temannya bekerja sama menarik kursinya. Amelia pun jatuh terduduk (kompas.com, 30/4-2016). Akibatnya, Ana Amelia berbaring lemah di rumahnya. Ia tidak bisa lagi mengikuti pelajaran di kelas 3 Sekolah Dasar Mangkang Wetan 02, Kota Semarang, Jawa Tengah, karena sebagian besar tubuhnya tidak bisa digerakkan.
Kejadian itu tanggal 31 Maret 2016 yang dilakukan tiga teman Amelia itu merupakan perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan kecelakan pada orang lain berupa cacat seumur hidup. Namun, dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pasal 1 ayat 3 disebutkan: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Ketiga teman Amelia itu justru berumur di bawah 12 tahun. Berdasarkan UU Itu mereka lolos dari jerat hukum. Ulah ketiga rekan Amelia itu memupus harapan Amelia hidup secara alamiah sesuai dengan kodrat fisik dan non-fisik yang dibawanya sejak lahir. Dalam kondisi di atas tidak ada kejelasan hukum yang mengatur terkait dengan perilaku ketiga anak-anak itu dan perlindungan hukum bagi Amelia.
Kalau memang anak-anak di bawah usia 12 tahun tidak bisa dipidana, mengapa tidak dicari bentuk-bentuk penghukuman yang memberikan ‘pelajaran’ agar kejadian tidak terulang dan menjadi contoh bagi anak-anak lain. Dari video itu terucap kata-kata makian ke para siswi junior. "Perek perek perek." Tidak lama kemudian terlihat ada siswi yang diguyur kepalanya dengan air dari botol.
Setelah itu ada siswi yang memakai bra di luar baju sekolah, dan dipaksa merokok. Siswi itu terlihat menunduk dan mengusap matanya (detiknews, 3/5-2016). Ini terjadi di SMAN 3 Jakarta. Siswa SMAN 3 Jakarta itu sudah di atas 12 tahun sehingga bisa dijerat dengan KUHP dan UU Perlindungan anak karena korbannya siswi kelas 1.
Pelaku di SMAN 3 itu kalau ternyata laki-laki, maka di sana juga terjadi perbuatan yang merendahkan martabat dan harkat manusia, dalam hal ini siswi. Perlu diuji dengan lie detector apakah siswa dan siswi yang melakukan kekerasan itu pernah atau tidak pernah melakukan perbuatan yang melawan norma, moral dan agama terutama dalam hal seks.
Soalnya, mereka meneriakkan kata-kata “perek” (perempuan eksperimen yang mengacu ke perempuan yang menjual diri). Jangan-jangan ada di antara mereka yang meneriakkan kata-kata itu karena pernah ngeseks dengan “perek” atau dikecewakan “perek”.
“ .... secara psikologis siswi-siswi yang melakukan bullying itu memiliki masalah. Akan tetapi dikarenakan mereka tidak bisa menyalurkan ke hal-hal yang positif, maka melampiaskannya dengan cara melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik,” Ini dikatakan oleh psikolog Tika Bisono (detiknews, 4/5-2016).
Di Pasal 1 ayat 5 dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Tampaknya, pasal ini lebih mengarah ke anak yang jadi korban. Yang jadi persoalan bagaimana kalau pelaku anak dan korban juga anak dalam koridor usia berdasarkan UU ini. Pada kasus pertama yaitu Amelia jerat hukum sudah jelas tidak bisa dipakai, maka Amelia pun menanggung derita sepanjang hidupnya.
Keluarganya juga miskin. Maka, kalau kedua orang tuanya meninggal Amelia akan menghadapi masalah besar karena tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Apakah ada panti asuhan yang akan bermurah hati menampung Amelia jika kelak ia jadi yatim-piatu? Masih menunggu kenyataan seiring dengan derita hidup Amelia.
Dalam kasus kedua siswi yang jadi korban akan mengalami penderitaan juga selama hidupnya, apalagi di sekolah setiap hari sekolah akan ketemu dengan siswa-siswi yang menjahati dia. Dikabarkan polisi menyerahkan penyelesaian ke pihak sekolah. Dalam konteks inilah media massa berperan untuk memberitakan kasus secara intens karena bisa saja ada kekuatan lain apalagi posisi keluarga korban jauh lebih ‘rendah’ daripada keluarga pelaku.
Hal lain yang luput dari pemikiran perancang UU adalah bisa saja kelak terjadi anak-anak dimanfaatkan dengan imbalan materi untuk melakukan tindak pidana berat, seperti pencurian, penganiayaan, dan pembunuhan.
Demi hukum anak-anak itu lolos, dan orang-orang yang memanfaatkan anak-anak itu pun bisa juga lolos karena bisa saja anak-anak diancam atau mereka tidak mengenal orang yang menyuruh mereka. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H