Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Media Sosial sebagai Penyaluran Ekspresi Dibatasi Koridor Hukum

Diperbarui: 16 Januari 2023   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi 

Kalau suatu saat seseorang tiba-tiba diciduk polisi dengan dasar pengaduan karena tulisan atau status di media sosial (Facebook, WhatsAp, Twitter, Path), Instagram, dan e-mail merupakan langkah hukum yang diatur undang-undang (UU). Dalam catatan penulis paling tidak sudah ada 30-an kasus media sosial yang berakhir di meja hijau.

Soalnya, tulisan atau status di media sosial diatur melalui UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni, yang lebih dikenal sebagai UU ITE. Pemakaian UU ITE ini sifatnya lex spesialis karena khusus mengatur media sosial. Kalau UU ITE tidak ada pun tetap saja ada celah hukum yang bisa menjerat orang-orang yang menulis di media sosial berupa fitnah, pencemaran nama baik, menghina, mencemarkan nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan, dll. melalui Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jika polisi memakai UU ITE yaitu Pasal 27 ayat 3: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Sanksi perbuatan sesuai dengan Pasal 27 ayat 3 diatur di Pasal 45 ayat 1: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Di Pasal 36 lebih tegas lagi tentang akibat perbuatan sebagaimana diatur di Pasal 27, disebutkan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain."

Sanksi bagi yang memenuhi unsur perbuatan sebagaimana diatur di Pasal 36 diatur di Pasal 51 ayat (2): “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).”

Dengan ancaman hukuman kurungan enam tahun, maka secara objektif dan subjektif penyidik bisa menahan tersangka. Penahanan ini merupakan hak penyidik yang diatur UU pula.  

Dalam bahasa hukum perbuatan yang menyebarkan fitnah, pencemaran nama baik, menghina, mencemarkan nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan di media sosial disebutkan oleh Dir Tipid Eksus Bareskrim Polri, Kombes Agung Setya: "Ada unsur pidana, dan ini delik aduan." (detiknews, 29/4-2016).

Dengan berpijak pada delik aduan, maka polisi pun diwajibkan oleh UU untuk menerima pengaduan dan melanjutkan proses hukum sampai diajukan ke kejaksaan. Proses hukum di polisi hanya bisa dihentikan jika pengadu mencabut pengaduannya.

Lagi pula kalau memang ekspresif mengapa harus menulis dengan caci-maki, ejekan, fitnah dan memakai nama-nama binatang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline