Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Sumpah Serapah dan Serangan ke Pribadi Bukti Ketidakmampuan Membaca Konten dan Melancarkan Kritik

Diperbarui: 21 April 2016   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kamu homo, ya.” “Sudah tua bela-bela homo, perbanyak amal.” “Saudara antek-antek WHO.” “Saudara agen kondom.” “Agen Israel.” “Bodoh.” “Bego.” “Tolol.” Dll. .... Masih banyak bentuk caci-maki, umpatan, penghinaan, sumpah serapah, menyebut nama-nama binatang, dll. yang ditujukan kepada penulis di Facebook dan blog, khususnya di Kompasiana.

Waktu itu penulis membuat status berupa tanggapan terhadap pernyataan Menristekdikti, Muhammad Nasir, tentang larangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) masuk kampus. Penulis menyebutkan bahwa yang bisa dilihat dengan mata telanjang hanya biseksual sehingga larangan itu tidak adik. Eh, penulis malah dituduh homo. Maaf, bukan karena homo tapi karena tudingan itu fitnah dan tidak ada kaitannya dengan status.

Yang menyeru “Sudah tua bela-bela homo, perbanyak amal” adalah seorang perempuan yang memakai pakaian yang menutup bagian-bagian tubuh yang disebut aurat. Dia mencerminkan agama, tapi menyapa dengan cara-cara yang tidak beragama. Pertama, dalam konten itu saya sama sekali tidak ‘bela2 homo’. Kedua, dari mana dia tahu saya tidak memperbanyak amal di usia saya yang sudah kepala enam. Ketiga, konten adalah masalah hukum dan hak asasi manusia (HAM) sehingga tidak pada posisi bela-membela tapi menempatkan persoalan pada proporsinya.

Sejak awal epidemi HIV/AIDS di awal tahun 1980-an penulis menjadikan isu HIV/AIDS sebagai salah satu kekhasan tulisan. Pilihan ini karena banyak berita tentang HIV/AIDS yang tidak akurat dan dibalut dengan moral sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Kondisi ini membuat banyak orang tidak tahu cara-cara penularan HIV dan cara-cara melindungi dari agar tidak tertular HIV. Salah satu cara melindungi dari agar tidak tertular HIV adalah memakai kondom pada hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan pengidap HIV/AIDS atau dengan orang yang tidak diketahui status HIV-nya. Analisis konten terhadap berita HIV/AIDS di media massa nasional priode 1981-2000 saya tulis dalam buku “Pers Meliput AIDS” (Penerbit Pustaka Sinar HarapandanFord Foundation, Jakarta, 2000).

Nah, dalam posisi itu apakah otomatis saya antek-antek WHO? Apakah dengan kalimat itu saya otomatis seorang agen kondom?

Ketika tulisan di Kompasiana mengulas perfilman nasional terkait dengan minat masyarakat menonton film nasional, eh, ada yang berkomentar bahwa ulasan tsb. saya tulis karena saya ‘agen Israel’.

Yang paling menyakitkan adalah ketika ada Facebooker yang menanggapi status penulis di Facebook dengan menyalahkan alm ayah. Orang tsb. menulis bahwa saya tidak diperdengarkan azan ketika baru lahir. Ini ‘kan bukan lagi kritik tapi sudah penghinaan melalui fitnah.

Dengan melempar umpatan bodoh, bego, tolol, dll. lagi-lagi menunjukkan ybs. tidak bisa memberikan alasan yang konkret tentang pendapat atau kalimat yang dia baca sehingga komando dari otaknya hanya menyebut kata-kata sumpah serapah.

Jika dibawa ke ranah hukum tentulah tanggapan atau kritik terhadap konten dan tulisan tsb. merupakan perbuata yang melawan hukum. Bisa memakai UU ITE atau KUHP dengan sanksi kurungan dan denda. Maka, amatlah tidaklah masuk akal kalau kemudian ada yang ingin agar konten di media sosial tidak dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum. Dengan menyebarkan kebencian, dengki, fitnah dan sumpah serapah adalah penjara yang layak sebagai imbalannya.

Kalau ybs. bisa mencerna konten atau kalimat, maka copy-lah kalimat tsb. lalu sandingkan dengan kritik atau kutipan lain berupa pendapat, penelitian, dll. Tanpa sumpah serapah dengan sandingan tsb. pembaca akan bisa menilai mana yang akurat dan yang mana pula yang tidak masuk akal.

Memang, fakta atau data yang ditulis dalam bentuk deskripsi akan sangat sulit ditanggapi tanpa ada fakta atau data yang sebanding. Tapi, jangalah kemudian menanggapinya dengan sumpah serapah karena langkah ini hanya akan membenamkan diri ke lumpur kehinaan karena tidak memakai nalar. ***

Ilustrasi (Sumber: bloggingwithmaryjean.com)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline