Dengan judul berita “Ini 12 NegaraTeratas soal Belanja Seks, Indonesia Jadi Juru Kunci” kompas.com (23/2-2016) melaporkan riset yang dilakukan oleh Havocsope yang dilansir oleh DW.com, terungkap negara-negara dengan pengeluaran penduduk untuk membeli seks (baca: pelacuran) terbesar di dunia. Angkanya fantastis yaitu mencapai puluhan miliar dolar AS.
Di peringkat atas ada Cina dengan pengeluran 73 miliar dolar AS, sedangkan Indonesia ada di peringkat ke-12 dengan pengeluaran sebesar 2,25 miliar dolar AS, atau setara dengan Rp 30,262 Triliun.
Angka 2,25 miliar dolar AS masuk akal karena pelacuran online, bahkan ada yang melibatkan ‘artis’ tarifnya antara Rp 25 juta – Rp 100 juta untuk short time alias sekali crot. Praktek pelacuran terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Jika rata-rata tarif pelacur online Rp 65 juta kalau ada 100 PSK saja sekali booking sudah mencapai Rp 6.500.000.000
Rata-rata tarif PSK untuk short time adalah Rp 250.000, di beberapa kota lebih mahal, seperti di Kota Kendari, Sultra, tarif PSK paling rendah Rp 500.000. Angka ini belum termasuk pembayaran kamar hotel. Sedangkan di Yogyakarta berlaku tarif ‘pelajar/mahasiswa’ Rp 75.000.
Fakta praktik pelacuran itu dijadikan seolah-olah fenomena di Indonesia yaitu mengabaikan fakta dengan cara mengaitkan pelacuran hanya dengan lokalisasi pelacuran. Di era Orba pelacuran dilokalisir dengan balutan rehabilitasi dan resosialisasi (Resos) dengan melatih pekerja seks komersial (PSK), seperti jahit-menjahit dan tara rias (salon). Sambil berlatih PSK itu tetap bekerja sebagai PSK. Tapi, program ini kandas karena bersifat top-down [Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].
Apakah PSK kelak akan memilih jadi tukang jahit atau karyawan salon dengan penghasilan yang sangat kecil jika dibandingkan dengan penghasilan mereka bekerja sebagai PSK?
Ini yang tidak diperhatikan oleh pengelola Resos, waktu itu Departemen Sosial dan jajarannya sampai ke provinsi, kabupaten dan kota. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian program itu kandas.
Persoalan lain adalah andaikan di Resos “X” dari 100 PSK 75 memilih jadi tukang jahit dan karyawan salon, apakah ada jaminan ‘lowongan’ yang mereka tinggalkan akan kosong selamanya?
Ternyata tidak karena 75 posisi itu diisi oleh PSK ‘baru’ yaitu PSK yang pindah dari daerah lain atau yang memang baru terjun karena berbagai alasan dan cara. Misalnya, korban perdagangan orang, ditipu dll.
Selama pemerintah, mulai dari pusat sampai daerah, tetap berpatokan bahwa pelacuran baru ada kalau ada lokalisasi pelacuran. Secara de jure di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi karena tidak ada aturan hukum yang membenarkan pelacuran.
Laporan Unicef, seperti diberitakan, menyebutkan bahwa Unicef memperkirakan, 30 persen pelacur perempuan di Indonesia berumur di bawah 18 tahun. Banyak pula germo atau mucikari berusia remaja.