Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Jalan Tol “Membelah” Budaya, Perencanaannya Miskin Rekayasa Sosial

Diperbarui: 20 Januari 2016   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Antisipasi agar penduduk tidak menyeberang di sepanjangan jalan tol

Paparan Presiden Joko Widodo tentang pembangunan jalan tol Trans Sumatera pada acara Rakernas PDIP di Jakarta (10/1-2016) menunjukkan fisik jalan tol dari Bakauheni ke Terbanggi Besar di wilayah Provinsi Lampung. Penulis jadi teringat ketika jalan tol pertama dioperasikan, yaitu jalan tol Jagorawi sepanjang 60 km yang diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 9 Maret 1978.

Pada awal-awal pengoperasian jalan tol pertama di Indonesia itu sering terjadi kecelakaan. Penyeberang ditabrak kendaraan bermotor yang melaju kencang di jalan bebas hambatan tersebut. Tentu saja ada anggapan bahwa penduduk di sepanjang jalan tol tidak taat aturan, kampungan dll.

Tapi, tunggu dulu!

Ada salah hal yang luput dari perhatian pembangunan jalan tol tersebut, yaitu rekayasa sosial (social engineering) terkait relasi penduduk yang dibelah jalan tol itu. Secara geografis, jalan tol membelah kawasan, bisa tingkat RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya. Sedangkan secara sosial, jalan tol pun membelah budaya dan kekerabatan penduduk di sepanjang jalan tol.

Penduduk memilih menyeberang jalan tol karena tidak ada sarana untuk menyeberangi jalan tol dengan aman, yakni jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan dua wilayah dan budaya serta kekerabatan yang dibelah jalan tol. Kalaupun ada, jaraknya sangat jauh sehingga penduduk memilih jalan pintas walaupun menantang maut.

Jalan tol Trans Sumatera akan membentang di bagian timur Pulau Sumatera mulai dari Bakauheni di Prov Lampung sampai ke Banda Aceh di Prov Aceh dengan panjang 2.818 km. Sedangkan ruas jalan tol Trans Jawa membentang dari Merak di Prov Banten sampai Kota Surabaya di Prov Jawa Timur sepanjang 1.000 km. Dengan ruas jalan tol sepanjang itu di P Sumatera dan P Jawa tentulah banyak permukiman penduduk yang dibelah oleh jalan tol tersebut. Itu artinya kekerabatan yang selama ini menjadi bagian keseharian penduduk akan terbelah.

Jalan tol akan memisahkan permukiman, kekerabatan, pertanian, persawahan, penggembalaan ternak secara masif. Bentangan ruas jalan tol bagaikan ‘Tembok Berlin’ yang membuat semuanya jadi dua kubu yang saling berseberangan. Tapi, karena kekerabatan dan keperluan terkait dengan kehidupan sehari-hari, penduduk di sepanjang jalan tol pun akan menyeberangi jalan tol sebaga jalan pintas. Hal itu akan terus terjadi jika sarana penyeberangan berupa JPO atau terowongan di sepanjang jalan tol jaraknya jauh.

Seorang menantu harus memutar jalan belasan bahkan puluhan kilometer hanya untuk bertandang ke rumah mertuanya yang dulu hanya berjarak puluhan meter. Tapi, setelah ada jalan tol, jarak itu terasa amat jauh karena harus memutar ke tempat penyeberangan atau jalur jalan arteri yang jaraknya bisa hitungan kilometer.

Bertolak dari realitas sosial terkait jalan tol, patut juga dipertanyakan seperti apa rekayasa sosial yang dilakukan ketika jalan tol tersebut dirancang. Jumlah JPO dan terowongan menjadi bagian dari rancang bangun jalan tol karena menyangkut peradaban manusia. Tapi, sayang jalan tol yang membelah kehidupan sosial manusia yang sudah memakan banyak korban, ternyata mengabaikan rekayasa sosial terkait dengan realitas sosial kehadiran jalan tol.

Tidak ada pilihan lain selain menyediakan JPO atau terowongan di sepanjang jalan tol dengan jarak yang manusiawi berdasarkan rekayasa sosial yang objektif. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline