Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Larangan Pengidap HIV/AIDS Menikah di Kabupaten Purwakarta

Diperbarui: 9 September 2015   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Tetapi, jika hasil tes kesehatan calon suami atau isterinya diketahui mengidap penyakit HIV/AIDS, pemerintah akan melakukan intervensi dengan menggagalkan pernikahannya.” Ini pernyataan Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Dedi Mulyadi dalam berita “Di Daerah Ini, Pengidap HIV AIDS Dilarang Menikah” (pojoksatu.id, 8/9-2015).

Kebijakan bupati ini jelas di luar nalar dan akal sehat karena sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan penanggulnagan HIV/AIDS dan melawan hukum karena rukun nikah dalam Islam tidak menyaratkan ‘bebas HIV/AIDS’.

Kalau Pak Bupati ini memakai nalar, maka semua calon pengantin yang mengidap penyakit menular dan genetika (keturunan) harus diintervensi dan dibatalkan karena akan terjadi penularan penyakit pada keluarga tsb.

Pertama, mengapa hanya HIV/AIDS saja yang membatalkan pernikahan? Virus Hepatitis B, sifilis, dll, juga menular. Bahkan, dampak buruk sifilis jauh lebih besar daripada HIV/AIDS, misalnya anak lahir cacat dan buta. Bahkan, penyakit genetika, seperti thalasemia jauh lebih buruk dampaknya daripada HIV/AIDS karena penderita thalasemia harus transfusi darah secara rutin.

Maka, Bupati Purwakarta sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Kedua, HIV/AIDS adalah penyakit menular yang bisa dicegah, misalnya dari suami ke istri atau sebaliknya, dengan cara yang masuk akal dan realistis dengan teknologi kedokteran. Yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV) secara teratur sesuai anjuran dokter atau memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, penyakit genetika tidak bisa dicegah karena otomatis sebagai penyakit turunan.

Ketiga, jika calon pengantin diwajibkan tes HIV, maka ada risiko buruk yaitu hasil tes negatif palsu (HIV sudah ada di darah tapi tidak terdeteksi sehingga hasil tes negatif) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi hasil tes positif)

Negatif palsu akan merusak keluarga tersebut, karena akan terjadi penularan HIV dari suami, yang semula hasil tesnya negatif palsu, ke istri yang selanjutnya istri menularkan ke bayi yang dikandungnya.

Positif palsu merampas hak sesorang untuk menikah dengan alasan yang tidak faktual karena tes HIV tsb. Tidak sahih.

Keempat, status HIV-negatif bukan vaksin sehingga tidak ada jaminan suami atau istri akan selamanya negatif HIV karena bisa saja dalam pernikahan mereka atau salah satu melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV/AIDS.

Di bagian lain berita disebutkan: Persyaratan ini menurut Dedi untuk mengantisipasi bayi terinfeksi HIV pada saat dilahirkan. Kasus-kasus bayi terinfeksi HIV yang terjadi selama ini karena pasangan mengidap HIV/AIDS baru ketahuan setelah mereka menikah. “Kasihan yang menjadi korban bayi.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline