Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Tiba di Surabaya 69 PSK Asal Jatim yang Dipulangkan dari Lokalisasi Pelacuran di Papua

Diperbarui: 27 Agustus 2015   10:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Kita periksa untuk memastikan mereka bebas dari virus HIV. Hasilnya kami laporkan ke pemerintah daerah setempat." Ini pernyataan Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jatim, Hizbul Wathon, tentang 69 pekerja seks komersial (PSK) yang terakhir ‘bekerja’ di lokalisasi pelacuran Tanjung ‘Turki’ Elmo, di tepi Danau Sentani, Kab Jayapura, Papua, yang dipulangkan ke daerah asal, al. ke Jawa Timur (“Pejabat Jatim Sambut 69 PSK yang Dipulangkan dari Jayapura” di kompas.com, 26/8-2015).

Langkah Pemprov Jatim itu benar, tapi ada yang luput yaitu masa jendela pada 69 PSK yang dipulangkan tsb. Jika ada di antara 69 PSK itu tertular di bawah tiga bulan ketika tiba di Kota Surabaya tanggal 26/8/2015, itu artinya hasil HIV terhadap mereka bisa positif palsu (HIV tidak ada di daerah tapi hasil tes reaktif) atau negatif palsu (HIV ada di darah tapi tidak terdeteksi oleh reagen sehingga hasil tes HIV reaktif).

Karena prevalensi HIV/AIDS di Papua sangat tinggi, maka risiko 69 PSK tsb. tertular HIV sangat besar sehingga hasil tes HIV sangat penting karena terkait dengan kegiatan PSK tsb. di daerah asalnya.

Maka, PSK dengan hasil tes negatif palsu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di daerah asalnya atau daerah lain jika kelak ybs. kembali ke ‘habitat’-nya sebagai PSK. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Jatim didorong oleh PSK dengan hasil tes negatif palsu.

Dilaporkan PSK yang dipulangkan dari Papua berasal dari sejumlah daerah di Jatim, seperti Surabaya, Gresik, Malang, Jombang, Madiun, dan Ponorogo.

PSK yang dipulangkan dilaporkan menerima modal usaha masing-masing lebih dari Rp 5 juta dari Pemkab Jayapura dan Kemensos. Persoalannya adalah: Apakah dengan uang Rp 5 juta mereka bisa menjalani kehidupan?

Soalnya, di era Orba ada program resosialisasi dan rehabilitas PSK dengan memberikan keterampilan dan modal kerja. Tapi, apa yang terjadi? Sebagian besar tetap memilih jadi PSK daripada membuka usaha jahit-menjahit atau salon kecantikan. Ini terjadi karena, menurut Prof Dr Hotman M Siahaan, sosiolog di Unair, Surabaya, program tsb. merupakan program top-down sehingga tidak menyentuh akar persoalan [Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an)].

Di sini lain apa yang akan dilakukan Pemprov Jatim jika ada di antara PSK tsb. yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Sayang, dalam berita tidak disebutkan langkah-langkah Pemprov Jatim menghadapi situasi ini.

Biar pun Pemprov Jatim sudah menutup semua lokaliasi pelacuran, itu tidak jaminan di Jatim tidak ada lagi praktek pelacuran. Maka, penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual berisiko yaitu hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tetap mejadi ancaman terbesar epidemi HIV/AIDS bagi Jatim yang sampai akhir tahun lalu sudah melaporkan 28.225 kasus HIV/AIDS. *** [Syaiful W. Harahap-AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline