Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Risma Bukan Memberantas Pelacuran di Kota Surabaya, tapi Menutup "Dolly" sebagai Lokalisasi Pelacuran

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14309791411194719435

“Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berniat memberantas prostitusi dari Ibu Kota. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang sukses menutup lokalisasi Dolly yang terkenal seantero Asia Tenggara pun memberi saran.” Ini lead berita “Ahok Ingin Berantas Prostitusi di Jakarta, Ini Saran Risma” (detikNews, 7/5-2015).

Pertama, adalah hal yang mustahil memberantas prostitusi atau pelacuran. Buktinya, dengan menerapkan syariat Islam pun tetap saja terjadi pelacuran di Aceh (Ini modus nekat PSK di Aceh kucing-kucingan dengan Polisi Syariah, merdeka.com, 7/5-2015). Selain itu tidak ada juga jaminan bahwa tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Aceh yang melacur di luar wilayah Provinsi Aceh.

Kedua, yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, adalah menutup lokalisasi pelacuran yaitu “Dolly”. Ini fakta. Sedangkan pelacuran di Kota Surabaya terus berdenyut seiring dengan mobilitas penduduk. Buktinya, polisi sudah berkali-kali membongkar sindikat pelacuran dengan berbagai modus, al. melalui Internet dan media sosial, seperti ini: “Berkedok pijat dan Spa. Dolly tutup, prostitusi terselubung makin subur di Surabaya” (lensaindonesia.com, 17/12-2014). Ada lagi “‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya” (republika.co.id, 17/2-2015), yang ini juga “Mucikari Surabaya Jual PSK Anak Via Internet, Sampai Luar Negeri” (surabaya.bisnis.com, 29/4-2015).

Siraman Rohani

Ketiga, di Jakarta tidak ada pelacuran yang dilokalisasi secara khusus. Yang ada adalah lokasi atau tempat pelacuran, seperti Kali Jodo. Tidak ada lagi tempat pelacuran yang persis sama dengan “Dolly”. Maka, saran apa pula yang bisa diberikan Risma ke Ahok karena praktek pelacuran di Ibu Kota terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Baik wacana yang dilempar Ahok maupun langkah yang dilakukan Risma semua menjadikan perempuan (baca: PSK/Pekerja Seks Komersial) jadi sasaran tembak sebagai pelengkap penderita. Ahok dan Risma sama sekali tidak menyinggung perilaku seksual laki-laki, bahkan sebagai adalah suami, yang membeli seks ke PSK.

Risma membekali PSK yang tercerabut dari “Dolly” dengan keterampilan dan modal. Tapi, pada saat yang sama sejumlah perempuan lain juga bekerja sebagai PSK dalam berbagai bentuk pelacuran.

Sama halnya dengan pemerintah kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Jawa Timur yang menutup lokalisasi pelacuran juga menganggap dengan langkah itu praktek pelacuran tidak ada lagi di daerahnya.

Memang, secara kasat mata tidak ada pelacuran dan tidak ada pula pekerja seks komersial (PSK) yang mangkal di lokasi pelacuran. Tapi, praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan modus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di wilayah Jawa Timur.

Begitu juga dengan Ahok yang mewacanakan lokalisasi pelacuran untuk memberikan bekal keterampilan dan siraman rohani kepada PSK agar tobat.

Tapi, Ahok lupa pada saat yang sama ada PSK dengan jumlah yang sama atau lebih juga memilih pelacuran sebagai pekerjaan. Katakanlah PSK yang dibina Ahok di lokalisasi pelacuran tobat dan mereka bekerja di sektor lain. Tapi, PSK lain justru sudah ada yang jadi PSK dan ada pula ‘pendatang baru’.

IMS dan HIV/AIDS

Satu hal yang dilupakan Risma dan Ahok adalah laki-laki yang justru menjadi kunci dalam pelacuran karena laki-lakilah yang mencari PSK dengan berbagai cara. Selama masih ada laki-laki yang perilaku seksualnya selalu mencari PSK, maka selama itu pulalah pelacuran akan terus berdenyut dalam berbagai bentuk dan modus.

Pelacuran menjadi perantara penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti sifilis, GO, hepatitis B, klamidia, jengger ayam, herpes, dll.) serta HIV/AIDS.

Laki-laki yang mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya menularkan IMS dan HIV/AIDS ke PSK jika laki-laki tidak pakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Lalu, ada pula laki-laki yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari PSK yang sudah mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

Laki-laki yang melacur dengan PSK menjadi jembatan penyebaran IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya dari PSK ke masyarakat, al. ke istri atau pasangan seks, seperti pacar, selingkuhan, teman ‘kumpul kebo’, dll.

Dalam kaitan memutus mata rantai epidemi IMS dan HIV/AIDS yang bisa dilakukan adalah intervensi terhadap laki-laki pembeli seks yaitu dengan memaksa mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Tapi, ini hanya bisa dilakukan dengan efektif jika praktek pelacuran dilokalisasi.

Ahok sendiri menantang agar tidak hanya mengkritik, tapi juga memberikan masukan tentang cara menyelesaikan prostitusi di Jakarta.

Ahok rupanya lupa kalau ‘pelacuran adalah pekerjaan seumur manusia’ (ini yang sering disebut-sebut orang jika bicara soal pelacuran) sehingga adalah hal yang mustahil menghapus pelacuran. Yang bisa dilakukan, seperti yang dilakukan Risma, adalah menutup lokalisasi atau tempat pelacuran.

Hanya itu yang bisa dilakukan, sedangkan praktek pelacuran terus terjadi seiring dengan denyut kehidupan para lelaki ‘hidung belang’.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus HIV/AIDS terus terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Di Kota Surabaya, misalnya, kasus HIV/AIDS sudah dilaporkan sebanyak 2.028 per September 2014. Jumlah ini merupakan bagian dari 28.225 kasus kumulatif HIV/AIDS Jawa Timur. Angka ini menempatkan Jawa Timur pada peringkat ke-2 secara nasional, sedangkan Kota Surabaya ada pada peringkat ke-1 jumlah kasus di Jawa Timur.

Sedangkan di Jakarta kasus yang dilaporkan per September 2014 mencapai 40.259 yang terdiri atas 32.782 HIV dan 7.477 AIDS. Angka ini menempatkan Jakarta pada peringkat ke-3 secara nasional.

Tentu saja angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sesungguhnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu kasus yang terdeteksi (Surabaya 2.028 dan Jakarta 32.782) hanya sebagian kecil dan kasus yang ada yang digambarkan sebagai puncak gunung es yang mencuat ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Kasus-kasus yang tidak terdeteksi itu kelak akan menjadi ‘bom waktu” ledakan AIDS.

Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah kita memilih menunggu ledakan AIDS dengan perdebatan seputar penanganan pelacuran atau melangkah dengan cara-cara realistis untuk memutus jembatan penyebaran HIV melalui praktek pelacuran? *** [Syaiful W. Harahap] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline