Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Pengguna Jalan Raya di Indonesia Berkacalah ke Manila

Diperbarui: 8 April 2023   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13861907132080851113

* Alasan klise penerobos jalur busway ....

“Menghindari macet.”

 “Terburu-buru.”

Itulah antara lain alasan pengendara sepeda motor dan pengemudi mobil, dan sopir angkutan kota yang menerobos jalur busway atau TransJakarta.

Tentu saja alasan itu tidak objektif dan hanya pembenaran karena kendaraan bermotor yang memilih bermacet-ria juga ingin cepat. Lagi pula janji dan acara di Jakarta dan kota lain di Indonesia tidak pernah tepat waktu. Ini bukti bahwa alasan-alasan itu hanya pembenaran untuk menghindari jeratan hukum.

Lagi pula apakah alasan tsb. bisa menjadi pembenaran untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum?

Tentu saja tidak karena pengecualian terhadap hukum hanyalah karena bencana alam dan orang gila.

Tingkat kepatuhan pemakai jalan raya di Indonesia sangat rendah. Ini bukan karena kurang sosialisasi atau pendidikan, tapi karena penegakan hukum yang tidak konsisten.

Mengapa orang Indonesia lebih memilih membuang puntung rokok ke dalam kantong baju atau celana daripada ke jalan raya di Singapura?

Tentu saja karena ada penegakan hukum yang konsisten di sana yaitu denda ratusan dolar Singpura atau jutaan rupiah.

Terkait dengan ketaatan terhadap hukum di jalan raya kita bisa menguji orang-orang Indonesia yang lama bermukim di luar neger dan diplomat: Apakah mereka taat terhadap rambu-rambu lalu lintas seperti di luar negeri?

Bahkan, mobil-mobil dengan plat nomor polisi CD (corps diplomatic) milik perwakilan asing pun menerobos jalur busway.

Ketika Batam mulai jadi tujuan wisata dari Singpuara dan Malaysia di awal tahun 1990-an pelancong dari dua negara itu tetap saja membuang sampah dan puntung rokok sembarangan di terminal feri Sekupang.

Memang, waktu itu tempat sampah tidak tersedia secara merata. ”Ya, saya buang ke mana,” kata seorang pelancong asal Singapura di Sekupang.

Terkait dengan penerobos ke jalur busway dan pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas kita malu melihat ketaatan pengguna jalan raya di Kota Metropolitan Manila, Filipina.

Di kota dengan jalur kanan itu tidak ada lampu lalu lintas di persimpangan. Tidak ada pula polisi. Tapi, tidak pernah terjadi kemacetan di perempatan jalan raya.

Lho, koq, bisa?

Iya, bisalah. Soalnya, pengguna jalan di Kota Manila memakai akal sehat. Padahal, di persimpangan hanya ada ’kotak kuning’ (garis yang menghubungkan empat sudut jalan raya membentuk persegi panjang dan kubus). Tapi, semua pengemudi menaati keberadaan ’kotak kuning’ itu.

Begini (lihat gambar). Kendaraan dari arah kiri atas, kanan dan depan berhenti karena kendaraan dari arah kanan atas sedang melaju di ’kotak kuning’. Maka, kendaraan dari arah lain tidak boleh melewati garis ’kotak kuning’.

Jika tidak ada lagi kendaraan dari arah kanan atas yang melewati ’kotak kuning’, maka kendaraan dari arah kiri, kanan bahwa dan kiri atas yang duluan berhenti di tepi ’kotak kuning’ akan jalan.

Maka, yang jadi ’polisi lalu lintas’ adalah hati nurani. Yang merasa duluan mendekati garis pada ’kotak kuning’ langsung jalan. Kecepatan di perempatan selalu rendah.

Yang terjadi di Indonesia adalah kebalikannya. Pengemudi akan memacu kendaraannya mendekati perempatan jika lampu lalu lintas sudah kuning bahkan sudah merah. 

Itulah sebabnya sering terjadi kecelakaan di persimpangan di Indonesia karena pengguna jalan tidak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas.

Mendekati persimpangan dan zebra cross (tempat khusus penyeberangan) kecepatan di bawah 25 km/jam. Tapi, di Indonesia terbalik. Mendekati perempatan dan zebra cross justru kecepatan ditingkatkan. Sebaliknya, pengendara akan patuh pada rambu kecepatan 5 km/jam ketika melewati kompleks militer.

Sebagai bangsa yang selalu berkoar-koar mengatakan diri sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama sudah saatnya kita mawas diri karena jargon-jargon moral itu sama sekali tidak tercermin pada etika berlalu lintas di jalan raya. 

Bandingkan dengan Kota Manila yang tidak pernah menyebut-nyebut diri sebagai ‘kota’ yang berbudaya dan beragama tapi pengguna jalan di sana memakai etika dan akal sehat.***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline