Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Mengenal RS Pusat Otak Nasional

Diperbarui: 2 September 2017   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14271952801451849237

Sumber foto: www.rspon.co.id

Rumah sakit yang menangani kesehatan otak disebut neuroscience, tapi karena nomeklatur (penamaan) neuroscience tidak dikenal di Indonesia sehingga pemerintah menyebut rumah sakit otak. Soalnya, di Indonesia nama rumah sakit dikaitkan dengan nama organ tubuh, seperti rumah sakit jantung, rumah sakit kanker, rumah sakit mata, dll.

Dengan tingkat kesakitan karena stroke (serangan otak) yang mencapai 12,3/1.000 penduduk, maka diperlukan rumah sakit yang khusus dan secara komprehensif menangani masalah kesehatan otak dan syaraf (neurologi). Stroke juga menjadi penyebab kematian terbanyak di rumah-ruma sakit di Indonesia. “Untuk itulah pemerintah membangun Rumah Sakit Pusat Otak Nasional,” kata Dr Mursyid Bustami, Sp.S (K), KIC, Direktur Utama Rumah Sakit (RS) Pusat Otak Nasional.

Sebagai penyebab kematian terbesar masalah stroke tentu saja jadi persoalan besar juga. Penderita stroke yang tercatat di RS Pusat Otak Nasional rata-rata berumur di atas 45 tahun yang tersebar di seluruh Nusantara.

Pengakuan Luar Negeri

Pemerintah, di era Presiden SBY, melihat stroke sebagai ancaman bagi kesehatan masyarakat yang akut sehingga diperlukan rumah sakit yang khusus. Selain itu, menurut dr Mursyid, rumah sakit otak pun menjadi bagian dari upaya menghemat devisa karena banyak penderita stroke yang berobat ke luar negeri. Di kawasan Asean rumah sakit neuroscience ada di Bangkok, Thailand.

Persoalan besar yang dihadapi sektor kesehatan di dalam negeri adalah sumber daya manusia, terutama tenaga medis dan paramedis. “Ada sedikit masalah dengan pelayanan,” ujar dr Mursyid kepada penulis (24/3-2015) di RS Pusat Otak Nasional di Jakarta. Misalnya, kesediaan perawat melayani. Inilah salah satu faktor yang mendorong banyak orang berobat ke luar negeri karena pelayanan yang jauh lebih baik.

Itulah sebabnya setiap kali pendidikan dan pelatihan bagi perawat dr Mursyid selalu mengingatkan betapa pentingnya pelayanan. “Wajarlah kalau pasien marah-marah karena mereka sedang sakit,” kata dr Mursyid memberikan contoh. Maka, diperlukan cara layanan yang bisa meredakan kemarahan atau kekesalan pasien.

Kalau soal tenaga medis, dalam hal ini dokter dan fasilitas,”Kita tidak ketinggalan dengan negara lain,” kata dr Mursyid. Buktinya, dokter-dokter dari Jepang dan Finlandia sudah bekerja sama dalam operasi (bedah) otak di RS Pusat Otak Nasional. Bahkan, dokter-dokter dari Finlandia sudah menyatakan tidak perlu dibayar. Mereka hanya minta tiket kapal terbang dan akomodasi. “Kalau ada lima pasien yang akan dibedah, kami akan datang,” kata dr Mursyid menirukan pernyataan kesediaan dokter dari Finlandia.

RS Pusat Otak Nasional merupakan rumah sakit pemerintah di kelas B dengan kemampuan memberikan layanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas. Rumah sakit ini merupakan tempat rujukan dari rumah sakit kabupaten seluruh Indonesia. Ada 407 tempat tidur inap dengan puluhan dokter spesialis. Dari 407 tempat tidur ada 44 tempat tidur di rumah sakit ini dengan kelas VIP ke atas.

Persoalan yang dihadapi Indonesia dalam kesehatan otak yang terkait dengan syaraf adalah penyebaran dokter ahli syaraf. Di Indonesia ada 1.400 dokter ahli syaraf, tapi, “Penyebarannya yang tidak merata,” ujar dr Mursyid. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja ada 200 dokter ahli syarat.

Tentu saja hal itu terkait dengan penghasilan. Apalagi sejak pemerintah menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bernaung di bawah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) insentif dokter spesialis sangat kecil.

Rumah-rumah sakit swasta di Jakarta dan sekitarnya, misalnya, menawarkan gaji Rp 40 juta/bulan dengan durasi kerja pada jam kerja. Itu artinya dokter masih bisa mencari tambahan melalui praktek sendiri. Ini menggiurkan bagi sebagian dokter karena jauh lebih baik daripada hanya terima gaji sebagai PNS.

Untuk itu, menurut dr Mursyid, pemerintah daerah perlu memberikan subsidi kepada dokter spesialis yang mau praktek di daerahnya. Kabarnya Prov Riau sudah menjalankan cara ini. Ini karena daerah itu kaya dengan pendapatan asli daerah, al. dari migas. Bagi daerah lain yang jadi masalah tentulah dana ABPD yang banyak tergantung ke pusat.

Doker ahli bedah syaraf lebih sedikit lagi. Tapi, pengalaman dr Mursyid menujukkan pederita stroke yang membutuhkan operasi (bedah) hanya 5 persen.

Ruang lingkup atau cakupan RS Pusat Otak Nasional adalah stroke, infeksi otak, trauma kepala atau cidera kepala, syaraf dan epilepsi. Sebagai pusat rujukan rumah sakit ini pun menerima pasien BPJS.

Pengobatan Epilepsi

Masalah terkait kesehatan otak yang pelik di Indonesia adalah penderita epilepsi (dikenal juga sebanyai penyakit ayan) yang al. ditandai dengan kejang-kejang. “Penyakit ini tidak menular dan bukan keturunan,” kata dr Mursyid mengingatkan. Soalnya, ada saja mitos (anggapan yang salah) terkait dengan epilepsi yang justru menghambat penyembuhan, misalnya, stigma (cap buruk) terhadap penderita epilepsi.

14271969012012010719

Dr Mursyid Bustami, Sp.S (K), KIC, Direktur Utama Rumah Sakit (RS) Pusat Otak Nasional (Foto: Saut Tampu)

Padahal, “Epilepsi bisa ditangani secara medis agar penderita tetap bisa hidup normal,” ujar dr Mursyid. Dengan pemberitan obat-obat yang rutin ada penderita epilepsi sembuh. Tentang penyebabnya, “Secara pasti belum ada,” kata dr Mursyid. Hanya sebagai gambaran epilepsi itu ibarat ada petir di otak sehingga mengganggu fungsi otak.

Dengan pengobatan yang pas dan dengan dukungan dokter penderita epilepsi bisa berolahraga, bahkan berenang. Untuk itulah dr Mursyid mengharapkan agar masyarakat tidak lagi melihat epilepsi sebagai penyakit yang menular dan turunan. Epilepsi, menurut dr Mursyid, belakangan ini lebih banyak terdeteksi di masyarakat pedesaan.

Agar cepat mendapat pertolongan sebaiknya penderita epilepsi delengkapi dengan gelang atau kalung yang menyebutkan penyakit yang mereka derita.

Dalam kaitan itulah diperlukan penyuluhan. Di masa-masa awal pendirian puskesmas (pusat kesehatan masyarakta) fungsinya adalah preventif (pencegahan) melalui promosi kesehatan. Tapi, belakangan puskesmas justru menjadi rumah sakit. Hal ini juga dikeluhan Prof Dr Ascobat Gani, MPH, DrPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI. “Puskesmas harus dikembalikan ke fungsinya sebagai ujung tombak promosi kesehatan,” kata Prof Ascobat pada suatu kesempatan wawancara dengan penulis. Dr Mursyid juga mendukung Prof Ascobat.

Infeksi AIDS di Otak

Jika puskesmas berfungsi sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat, maka kasus-kasus epilepsi akan bisa dijangkau sehingga tidak ada lagi penduduk yang menderita karena terabaikan.

Kesehatan otak lain terkait dengan HIV/AIDS yaitu infeksi di otak pada penderita atau pengidap HIV/AIDS. “Kami juga sudah banyak menangani pasien dengan latar belakang HIV/AIDS,” ujar dr Mursyid. Biasanya pasien datang dengan keluhan sakit kepala. Setelah melalui diagnosis dan riwayat pasien dokter akan menganjurkan tes HIV.

Tapi, “Ada masalah kalau dianjurkan tes HIV karena ada penyangkalan,” kata dr Mursyid. Yang mudah kalau ada kerja sama, misalnya, pasien mau terbuka soal status HIV-nya. Pasien yang dirawat juga lebih mudah dianjurkan tes HIV. Yang jadi masalah besar adalah pasien rawat jalan. Mereka akan sangat sulit dianjurkan tes HIV jika hasil diagnosis dan riwayat penyakit menunjukkan ada kaitan dengan HIV/AIDS.

Karena pasien stroke memerlukan penangan yang cepat, maka RS Pusat Otak Nasional, yang diresmikan oleh Presiden SBY tanggal 14 Juli 2014, dilengkap dengan helipad. Rumah sakit ini ada di Jalam MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, persis di sebelah kantor BNN (Badan Narkotika Nasionl). *** [Syaiful W. Harahap] ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline