Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Serial Santet #4 | Orang yang Kena Santet (karena) Tidak Beragama?

Diperbarui: 14 Juni 2018   04:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Orang yang kena santet itu ’kan yang lagi galau. Tidak beragama.” Itu kesimpulan yang saya tangkap dari pernyataan seorang aktor senior, pada acara ILC di Sta Televisi ”TVOne” tentang tanggapannya terhadap pasal santet di RUU KUHP (2013).

Kalau saja aktor senor tadi merasakan penderitaan yang dialami orang-orang yang kena santet, apakah dia masih bisa mengatakan hal itu?

Ketika ada yang bertanya tentang penyakit yang saya derita dengan tulus saya ceritakan, tapi yang saya terima hanyalah cacian, ejekan, dll.

”Jangan percaya. Itu hanya sihir.”

”Perbanyak baca Ayat Kursi.”

”Jangan tidur di ranjang.”

Dan sederet ’nasehat’, tapi dalam bentuk ejekan.

Kalau benar yang kena santet karena tidak baca ayat kursi, tentulah semua orang yang tidak baca ayat kursi, terutama yang bukan beragama Islam, sudah kena santet, dong. Faktanya, tidak semua orang yang tidak pernah baca ayat kursi kena santet.

Kalau kena santet karena tidur di ranjang, tentulah semua orang yang tidur di ranjang sudah kena santet. Faktanya, tidak.

Lagi pula saya tidak mengetahui akan disantet sehingga tidak pernah terpikir untuk mencari tangkal. Sebagai umat yang saya menjalankan perintah agama saya.

”Ah, itu bohong.” Inilah jawaban anak seorang teman ketika mengetahui ada benda-benda yang diambil dari tubuh saya.

Menurut anak teman tadi ada seorang ustad di Sukabumi yang mengatakan bahwa ’orang pintar’ yang mengambil benda itu hanya sebagai sihir. Ketika dikatakan sakit di kepala, lalu, masih menurut anak teman tadi, sesuai dengan ajaran ustadnya, ’orang pintar’ menempatkan benda di kepala lalu dia ambil.

Ada seorang perempuan yang menderita ’tumor’ di sekitar vaginanya. Menurut dokter itu kista. Tapi, tumor itu membesar dalam beberapa bulan sampai sebesar telur ayam. ‘Tumor’ itu kemudian pecah setelah ditngani ‘orang pintar’. “Aduh, kalau dioperasi dokter bisa celaka,” kata ‘orang pintar tadi. Soalnya, ‘tumor’ itu benda kiriman. Kalau dibedah maka bisa menganga pada bagian yang dibedah.

Dengan kondisi di atas, apakah ustad anak teman tadi masih bisa mengatakan ‘orang pintar’ itu hanya melakukan tindakan sihir?

Faktanya, benda-benda yang diambil dari badan saya, seperti beling, uang logam, paku, kemenyan, lidi ijuk, rambut, benang, serangga, dll. pernah saya simpan di kulkas berhari-hari tetap tidak berubah.

Soalnya, kalau sihir benda yang dihasilkan hanya bertahan 24 jam. Setelah itu benda itu akan kembali ke benda aslinya. Misalnya, sapu tangan jadi merpati. Dalam waktu 24 jam merpati itu akan kembali ke wujud semula yaitu sapu tangan.

Ada lagi rekan yang mengatakan bahwa dia bekerja ke berbagai pelosok, tapi tidak pernah kena santet.

Rekan itu rupanya memakai jalan pikirannya sendiri karena orang yang disntet itu karena terkait masalah dengan yang menyantet. Kalau tidak ada masalah dan yang jadi lawan berpikir jernih tentulah tidak akan memakai jasa dukun untuk menyantet.

Dari sekian banyak saudara, famili, kerabat, teman, sahabat, dll. yang saya kabari tentang santet yang saya alami hanya ada satu dua yang tanggapannya melegakan hati.

Seorang rekan yang pernah bekerja sebagai wartawan di sebuah koran nasional membalas SMS saya: ”Sabar, Bang. Saya berdoa agar orang yang menyantet itu ditunjuki Tuhan agar berhenti menyantet Abang.”

Inilah tanggapan yang adem. Kalau saja semua orang yang saya kabari tentang derita saya menjadi korban santet mendoakan agar orang-orang yang membayar dukun untuk menyantet saya sadar tentulah beban saya akan berkurang.

Tapi, yang saya alami adalah ejekan, hinaan, cacian, dst. Semua mengesankan saya kena santet karena tidak taat beragama, sama seperti pernyataan aktor senior itu.

Kalau memang karena tidak taat beragama, tentulah semua orang yang tidak taat dan tidak beragama sudah kena santet. Faktanya, tidak.

Celakanya, orang-orang yang memberi nasihat ketika diatanya: Apakah Anda pernah kena santet? Ternyata mereka tidak pernah kena santet.

Lalu, dari mana mereka mengetahui cara-cara menghindar atau melindungi diri agar tidak kena santet?

Itulah yang membingungkan.

Semula saya selalu terlibat debat dengan orang-orang yang mencaci dan mengejek dengan memberikan premis terkait dengan santet. Tapi, belakangan ada seorang teman, wartawan, yang mengenal saya secara dekat mengatakan: ”Abang tidak perlu memberikan premis menghadapi orang-orang yang mengejek agar mereka percaya Abang kena santet.”

Terima kasih, Kawan!

Semoga Tuhan membuka hati orang-orang mencaci, mengejek, dll. agar tidak lancang memakai lidahnya merendahkan martabat orang-orang yang kena santet. Amin. ***[Syaiful W. Harahap]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline