* Tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS
Media Watch (5/7-2013) – Pemkot Surabaya, Jatim, akhirnya mengekor juga ke 66 daerah provinsi, kabupaten dan kota yang sudah mempunyai peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Pemkot Surabaya menerbitkan Perda No 4 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
Di Jawa Timur sendiri sudah ada 7 perda, 1 peraturan gubernur (pergub), dan 1 peraturan walikota (perwali). Tapi, perda-perda itu hanya copy-paste dengan pasal-pasal yang normatif.
Sama halnya dengan Perda AIDS Kota Surabaya sama sekali tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, terutama untuk mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Bahkan, perda ini mundur karena mengusung mitos (anggapan yang salah).
Lihat saja di Pasal 10: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah, dan (b) hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.
Perda yang Alergi Kondom
Astaga, apa, sih, kaitan langsung antara penularan HIV melalui hubungan seksual dengan status pernikahan?
Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali hubungan seksual (kondisi hubungan seksual) bukan karena di luar nikah, zina, melacur, dll. (sifat hubungan seksual).
Maka, pasal 10 ayat (a) dan (b) adalah mitos.
Banyak istri yang tertular HIV dari suaminya melalui hubungan seksual yang sah secara hukum negara dan akidah agama. Di Kota Surabaya dilaporkan ada 126 ibu rumah tangga yang terderteksi mengidap HIV/AIDS.
Sedangkan di Pasal 10 ayat (c) disebutkan: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu menggunakan alat pencegah penularan bagi pasangan yang sah dengan HIV positif.
Terkait dengan Pasal 10 ayat (c) ini ada dua hal yang patut dicermati, yaitu:
Pertama, alat pencegah adalah terminologi yang merupakan jargon yang tidak mengacu ke satu alat terkait dengan pencegahan melalui hubungan seksual.
Susah amat, sih, menyebutkan kondom.
Apakah kondom merupakan najis atau barang haram? Tentu saja tidak karena kondom terbuat dari karet lateks yang diproduksi secara steril. Arti dari alat pencegah ada di bagian penjelasan di luar batang tubuh perda.
Kedua, berarti pasangan yang tidak sah, misalnya yang melacur, selingkuh, dll. tidak perlu memakai ’alat pencegah’. Maka, insiden infeksi HIV baru pun terjadi terus-menerus karena Pemkot Surabaya tentu saja tidak bisa menjamin bahwa semua laki-laki dewasa penduduk Kota Surabaya tidak ada yang melacur, berzina, selingkuh, dll.
Masih di Pasal 10 di ayat (e) disebutkan: Pasal 10 ayat (c) disebutkan: Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS, yaitu memfungsikan keluarga secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.
Tidak ada kaitan antara fungsi keluarga dengan penularan HIV karena dalam segala bentuk dan sifat keluarga bisa saja terjadi penularan HIV melalui berbagai cara. Maka, pasal ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV/AIDS karena keluarganya tidak berfungsi. Di tataran sosial pasal inilah yang menjadi pemicu stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap pengidap HIV/AIDS.
Penggunaan kata yang merendahkan martabat manusia juga dipakai dalam perda ini. Simak di Pasal 1 ayat 14 ini: Kelompok Risiko Tinggi adalah setiap orang atau badan yang dalam keadaan dan kapasitasnya menentukan keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS, antara lain orang yang terinfeksi dan keluarganya, Penjaja Seks Komersial, pelanggan Penjaja Seks Komersial, pelaku seks bebas dan pemakai Nakotika suntik.
Yang dijajakan adalah barang atau jasa secara berkeliling. Pekerja seks tidak pernah menjajakan barang atau jasa mereka. Yang datang mencari pekerja seks adalah laki-laki, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Pemakaian kata penjaja merendahkan martabab manusia (Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).
Lokasi Pelacuran Vs Tempat Hiburan
Di Pasal 15 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dilarang melakukan tindakan yang patut diketahui dapat menularkan atau menyebarkan infeksi HIV kepada orang lain.
Faktanya lebih dari 90 persen penularan HIV justru terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang tertular.
Pemkot Surabaya ternyata tidak jujur terkait dengan (praktek) pelacuran. Di satu sisi Pemkot Surabaya menutup lokasi pelacuran, tapi di sisi lain pelacuran dibiarkan terjadi di banyak tempat. Pasal-pasal di bawah ini merupakan bukti bahwa praktek pelacuran terjadi biar pun lokasi pelacuran sudah ditutup.
Pada Pasal 19 disebutkan: Setiap pengelola dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaporkan data karyawan secara berkala pada instansi berwenang dalam rangka perencanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS oleh Pemerintah Daerah.
Sedangkan pada Pasal 20 disebutkan: Setiap pengelola tempat hiburan dan/atau pemilik tempat hiburan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat usahanya.
Lalu di Pasal 21 disebutkan: Setiap perusahaan wajib melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja.
Tiga pasal tsb. mengaitkan tempat hiburan dengan HIV/AIDS. Itu artinya di tempat-tempat hiburan tsb. terjadi hubungan seksual.
Kalau di tempat-tempat hiburan tsb. tidak terjadi hubungan seksual tentu tidak diperlukan kegiatan atau program sebagai upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Di bagian peran serta masyarakat pasal-pasal yang ada pun hanya normatif dan mendorong masyarakat untuk melakukan stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS.
Di Pasal 35 ayat (1) disebutkan: Masyarakat berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) meningkatkan ketahanan agama dan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS; dan (b) berperilaku hidup bersih dan sehat.
Bagaimana ketahanan agama dan keluarga mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual dalam nikah atau transfusi darah?
Maka, masyarakat melihat pengidap HIV/AIDS adalah orang-orang yang tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga dan perilakunya tidak sehat.
Yang diperlukan adalah program yang konkret dan sistematis berupa intervensi terhadap laki-laki dewasa berupa pemaksaan agar memakai kondom ketika melalui hubungan seksual dengan pekerja seks.
Program itu hanya bisa dilakukan kalau pelacuran dilokalisir. Celakanya, Pemkot Surabaya justru menutup lokasi pelacuran. Maka, intervensi pun tidak akan bisa dilakukan sehingga insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2013/07/perda-aids-kota-surabaya.html]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H