“Temuan kasus HIV/AIDS di Tabanan cukup mengejutkan. Hingga Juni 2012, terjadi penurunan angka penyebaran virus mematikan ini. Namun, penurunan itu masih diragukan. Sebab, idealnya, kasus penderita HIV/AIDS cenderung meningkat seiring tingginya risiko penderita.” Ini lead di berita “Meragukan, Temuan Kasus HIV/AIDS Menurun” (Harian “Bali Post”, 23/7-2012).
Pernyataan atau kesimpulan dalam lead berita di atas menyesatkan.
Pertama, pernyataan ‘terjadi penurunan angka penyebaran virus mematikan ini’ tidak akurat. Tidak ada yang bisa mengetahui secara pasti penyebaran HIV di masyarakat. Yang bisa diketahui adalah jumlah kasus yang terdeteksi. Yang menurut bukan penyebaran HIV, tapi jumlah kasus yang terdeteksi. Artinya, pada priode Januari – Juni 2012 jumlah kasus yang terdeteksi menurun dibandingkan dengan kurun waktu sebelumnya.
Kedua, penyebutan ‘virus mematikan’ tidak akurat karena belum ada kasus kematian karena HIV atau AIDS atau HIV/AIDS. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS yang secara statistic terjadi setelah tertular antara 5 – 15 tahun karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Ketiga, disebutkan ‘idealnya, kasus penderita HIV/AIDS cenderung meningkat seiring tingginya risiko penderita’, yang cenderung meningkat adalah jumlah orang yang berisiko tertular HIV yaitu terkait dengan perilaku orang per orang, seperti perilaku melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau berhubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) atau waria
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini mengajukan pertanyaan kepada narasumber: Selama ini kapan (pada masa apa: infeksi HIV atau masa AIDS) kasus HIV/AIDS terdeteksi?
Jawaban dari pertanyaan di atas akan menggambarkan kondisi penyebaran HIV/AIDS di Tabanan.
Kalau selama ini kasus terdeteksi pada masa AIDS, maka ada kemungkinan dalam beberapa waktu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi akan berkurang karena ‘menunggu’ masa AIDS.
Yang terdeteksi sebelum tahun 2012 tertular antara 5 – 15 tahun sebelumnya. Sedangkan yang tertular setelah tahun 2007 tentu menunggu masa AIDS 5-15 tahun ke depan.
Pemkab Tabanan boleh-boleh saja berleha-leha dengan data tsb., tapi tanpa disadari penyebaran HIV terus terjadi di masyarakat jika Pemkab Tabanan tidak bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Tabanan yang melacur tanpa kondom.
Pertanyaan selanjutnya: Apakah penduduk yang menjalani tes HIV selama ini datang dengan kesadaran sendiri, kecuali yang dibawa ke rumah sakit karena sakit, atau dirujuk oleh penjangkau, seperti aktivis LSM?
Jika selama ini banyak yang dirujuk, maka pertanyaannya: Apakah kegiatan penjangkauan oleh LSM masih berjalan?
Disebutkan: " …. sampai Juni hanya ada 34 kasus HIV/AIDS yang ditemukan pada klinik VCT di Tabanan. Jumlah ini menurun hampir 50 persen dibanding tahun 2011 yang menembus 77. "Kami juga kaget, kok kasus HIV/AIDS bisa menurun. Mudah-mudahan data ini benar." Ini komentar Kadis Kesehatan Tabanan dr. Nyoman Suratmika.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Tabanan sampai tahun 2012 dilaporkan 378. Tidak ada data kematian terkait HIV/AIDS. Soalnya, “ …. penderita HIV/AIDS kerap kali dikucilkan. Sehingga, ketika meninggal, selalu ditutupi dan dirahasiakan.”
Data penurunan kasus yang terdeteksi di klinik VCT itu tentu saja benar. Tapi, apakah itu membuktikan penduduk yang mengidap HIV/AIDS memang sudah berkurang?
Kondisi itu akan tercapai kalau tidak ada lagi penduduk Tabanan, khususnya laki-laki dewasa, yang melakukan perilaku berisiko, al. melacur tanpa kondom, minimal sejak lima tahun yang lalu.
Ini pernyataan Suratmika: "Kita gencar melakukan pemberantasan penyebaran HIV/AIDS sejak tahun lalu. Mudah-mudahan, turunnya kasus HIV/AIDS sesuai realita di lapangan."
Berarti sebelum tahun lalu ada penduduk Tabanan yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV. Tentu saja orang-orang yang tertular HIV tidak semerta mengunjungi klinik VCT untuk tes HIV karena mereka tidak mengalami gejala-gejala penyakit yang khas AIDS sebelum masa AIDS.
Apalagi kalau kasus HIV/AIDS di Tabanan banyak terdeteksi pada masa AIDS, tentulah kunjungan ke klinik VCT ‘menunggu’ penduduk yang sudah tertular HIV mencapai masa AIDS dahulu.
Disebutkan pula: “ …. menyasar warga yang berpotensi tertular. Salah satunya, kalangan remaja, siswa dan para pekerja.”
Yang potensial sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS bukan remaja, tapi laki-laki dewasa karena mereka mempuyai istri dan sebagian laki-laki mempunyai pasangan seks lain, serta pelanggan PSK.
Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menjadi bukti perilaku laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV.
Disebutkan pula: Saat ini penyebaran HIV/AIDS rawan pada kalangan pelajar. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan mengapa kalangan pelajar di Tabanan rawan tertular HIV/AIDS.
Disebutkan lagi: “ …. fokus penanganan penyebaran HIV/AIDS dengan mengubah perilaku masyarakat. Sebab, dengan perilaku sehat, kemungkinan tertular HIV/AIDS relatif kecil.”
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengubah perilaku masyarakat agar tidak ada lagi yang berisiko tertular HIV?
Apakah dalam rentang waktu dari perilaku berisiko sampai perilaku tidak berisiko bisa dijamin mereka tidak melakukan perilaku berisiko tertular HIV?
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah Pemkab Tabanan bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Tabanan yang melacur tanpa kondom di Tabanan dan di luar Tabanan?
Kalau jawabannya BISA, maka data di klinik VCT itu benar adanya dan penyebaran HIV/AIDS di Tabanan tidak ada lagi dengan faktor risiko hubungan seksual.
Persoalan (besar) akan muncul kalau jawabannya TIDAK BISA karena laki-laki yang tertular HIV melalui perilaku berisiko akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pertanyaan berikutnya: Apakah di wilayah Kab Tabanan ada praktek pelacuran?
Kalau jawabannay tidak tidak ada, maka lagi-lagi Tabanan ’aman’ apalagi Pemkab Tabanan bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Tabanan yang melacur tanpa kondom.
Tapi, kalau di wilayah Kab Tabanan ada praktek pelacuran, maka Pemkab Tabanan harus melakukan intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK pelaku praktek pelacuran.
Tanpa langkah yang konkret penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena insiden infeksi HIV baru yang terus terjadi pula. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H