* Pegawai KPU dan KPUD serta petugas pemilu dan pemilukada disyaratkan mempunyai NPWP
Pemilihan umum nasional (pemilu) untuk memilih anggota parlemen (DPR, DPRD, dan DPD) dan presiden/wakil presiden serta pemilihan kepala daerah (pemilukada) yaitu gubernur, bupati dan walikota merupakan bagian dari (pesta) demokrasi.
Tapi, satu hal yang luput dari perhatian adalah kewajiban membayar pajak penghasilan (PPh) bagi petugas penyelenggara pemilu dan pemilukada.
Seperti yang terjadi pada pemilukadadi Jakarta hari ini untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, dengan 15.059 TPS ada ribuan petugas yang menerima honorarium.
Pertanyaannya: Apakah petugas-petugas tsb. membayar pajak penghasilan (PPh)?
Mungkin sebagian besar merasa tidak wajib membayar PPh karena tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sehingga mereka merasa tidak sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi.
Dalam kaitan ini KPUD bisa menjadi badan atau kuasa pemotong pajak sehingga honor petugas-petugas pada pemilukada langsung dipotong PPh-nya.
Pemilukada DKI Jakarta 2012 ‘memakan’ dana sebesar Rp 258 miliar, yaitu Rp 190 miliar untuk putaran pertama, dan putaran kedua Rp 68 miliar.
PPh dari petugas pemilukada tentulah tidak kecil karena petugas KPPS saja ada 105.413 (di setiap TPS ada 7 x 15.059TPS).
Kemudian ada pula 1.602 anggota PPS dan sekretariat yang ditempatkan di 267 kelurahan.
Ada lagi 96 petugas PPK di 44 kecamatan yang terdiri atas lima orang anggota dan empat petugas sekretariat.
Enam anggota KPU di setiap kabupaten kota sehingga ada 36 anggota KPU pada pemilukada DKI Jakarta.
Petugas di sekretariat KPUD DKI Jakarta sedikitnya 45, ditambah lima pejabat KPUD.
Petugas yang terkait menerima honor selama delapan bulan, kecuali petugas yang bekerja pada TPS di hari pencobloasan.
Memotong honor petugas-petugas itu sebagai PPh agar mereka menyadari bahwa uang itu adalah uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak.
Dengan dana pemilukada putaran pertama sebesar Rp 190 miliar dengan 6.962.348 pemilih, maka seorang pemilih di DKI Jakarta menghabiskan dana sekitar Rp 28.000.
Demokrasi memang mahal, apalagi disertai dengan kerusuhan anarkis yang berujung pada perusakan fasilitas umum.
Selain pendidikan demokrasi melalui pemilu dan pemilukada diharapkan pula pesta demokrasi itu sebagai bagian dari kepatuhan membayar pajak (penghasilan). ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H