Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

21 Anak-anak di Kota Batam, Kep Riau, Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Batam sebagai ’pintu masuk’ HIV/AIDS ke Nusantara

“ …. kondisi itu (kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada 21 anak berusia di bawah 14 di Kota Batam, Prov Kepulauan Riau-pen.) menunjukkan HIV/AIDS sudah menjalar dan merambah pada kalangan yang seharusnya tidak masuk golongan rentan terhadap penularan penyakit tersebut.” Ini pernyataan Ketua Dewan Perkumpulan RSBK Sri Soedarsono Batam (Virus HIV/AIDS rambah anak-anak di Batam, www.waspada.co.id, 6/7-2012).

Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIVAIDS.

Pertama, judul berita jelas menyesatkan karena HIV/AIDS tidak merambah tapi menular melalui cara-cara yang sangat spesifik. Dalam kasus anak-anak, maka HIV menular kepada mereka dari ibu yang mengandung mereka yang mengidap HIV/AIDS pada saat di kandungan, atau ketika persalinan atau bisa juga waktu menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Kedua, kerentanan terhadap penularan HIV bukan karena kalangan atau kelompok, tapi erat kaitannya dengan perilaku orang per orang. Seorang pekerja seks komersial (PSK) pun bisa tidak rentan tertular HIV kalau setiap sanggama, baik dengan pelanggan, suami atau pacarnya, pasangannya itu selalu memakai kondom.

Dalam kaitan 21 anak-anak yang berumur di bawah 14 tahun yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Kota Batam, Kep Riau, yang jadi persoalan besar adalah ayah dan ibu anak-anak itu.

Anak-anak itu sudah pada terminal terakhir rantai penyebaran HIV karena sangat kecil kemungkinan anak-anak itu (kelak) menularkan HIV kepada orang lain.

Sedangkan ayah dan ibu mereka sangat potensial untuk menularkan HIV kepada orang lain. Ayah anak-anak itu bisa saja mempunyai istri lebih dari satu. Bisa pula mempunyai pacar gelap, selingkuhan serta menjadi pelanggan PSK.

Jika ayah mereka meninggal atau bercerai, maka ibu anak-anak itu pun bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV kalau ibu mereka menikah lagi.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah kedua orang tua anak-anak itu menjalani konseling untuk melakukan tes HIV?

Kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar terkait dengan ayah dan ibu anak-anak itu karena mereka tidak menjalani tes HIV. Itu artinya mereka tidak mendapatkan konseling. Soalnya, ketika konseling mereka diajak untuk menghentikan penyebaran HIV mulai dari diri mereka.

Lebih lanjut Sri Soedarsono mengatakan: "Perlu peran semua pihak untuk penanggulangan HIV/AIDS, karena dalam beberapa tahun terakhir pun ada temuan ibu hamil dan anak-anak terjangkit virus mematikan tersebut."

Lagi-lagi pernyataan ‘virus mematikan’ menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis. Soalnya, belum ada kasus kematian yang dilaporkan karena HIV/AIDS.

Yang harus menjalankan penanggulangan HIV/AIDS adalah pemerintah, dalam hal ini Pemprov Kep Riau melalui KPA Prov Kep Riau.

Pertanyaannya: Apakah Pemprov Kep Riau mempunyai program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret dan sistematis?

Jelas tidak ada!

Buktinya, dalam peraturan daerah (perda) penanggulangan AIDS sama sekali tidak ada satu pun pasal yang menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/01/30/menyibak-penyebaran-hivaids-di-prov-kepulauan-riau/).

Karena tidak ada program yang konkret, maka amatlah beralasan kalau kemudian insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.

Data di VCT Kasper HIV Centre Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) tahun 2011 terdeteksi 245 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 120 laki-laki dan 125 perempuan. Dalam jumlah tsb. termasuk empat anak-anak.

Sedangkanrentang waktu Januari - Juni 2012 terdeteksi 163 kasus HIV/AIDS, terdiri atas 84 laki-laki dan 79 perempuan. Dari jumlah itu sebanyak 85 terdeteksi pada masa AIDS. Mereka adalah 54 laki-laki dan 27 perempuan, dan empat anak-anak berjenis kelamin perempuan. Kematian terjadi pada 37 penderita HIV/AIDS dan tiga anak-anak.

Bertolak dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi tentulah Pemprov Kep Riau tidak bisa lagi berpangku tangan karena kasus-kasus yang ada di masyarakat yang belum terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV. Semua terjadi tanpa mereka sadari karena orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda pada fisik dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khas AIDS.

Tingkat pelacuran yang sangat tinggi di Kota Batam dengan pelanggan terutama dari luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia, menjadikan Kota Batam sebagai ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke seluruh Nusantara karena PSK di kota ini berasal dari berbagai daerah (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/07/batam-bisa-jadi-%E2%80%9Dpintu-masuk%E2%80%9D-epidemi-hivaids-nasional/).

Salah satu paguyuban pendatang di sana mempunyai 6.300 anggota yang bekerja sebagai PSK (6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam, Harian ”Pikiran Rakyat”, Bandung, 11 November 2005)

Memang, Pemkot Batam akan berkilah: Tidak ada lokalisasi pelacuran di Batam.

Itu benar. Tapi, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. ’Wisatawan’ dari Singapura dan Malaysia menghabiskan akhir pekan dengan pelukan gadis-gadis belia di Batam.

Dalam satu kesempatan kamar penulis bersebelahan dengan kamar seorang ’apek-apek’ (sebutan untuk laki-laki Cina tua) di Kota Batam. Di kamar itu ada tiga remaja putri berusia di bawah 17 tahun. Mereka mengaku dari sebuah kota di Jawa Barat.

’Apek-apek’ tadi dengan bangga menunjukkan sebuah surat keterangan dari sebuah poliklinik di Batam yang berisi keterangan tentang tinggi badan, umur, dll. serta kondisi kesehatan cewek yang jadi pasangannya selama berlibur di Batam. Di bagian bawah ada tulisan dengan tulisan tangan ”100 persen perawan”.

Gadis-gadis belia itu pun cekikian ketika ditanya bagaimana mereka menghadapi hasrat seksual ’apek-apek’ itu. Kata salah seorang: ”Ah, duma raba-raba saja, Pak!” Yang lain mengatakan ada adegan seks oral. Hanya sebatas itu dan mereka pun mendapatkan imbalan.

Itulah salah satu alasan mengapa gadis-gadis belia yang dilacurkan di Batam memilih meladeni ’apek-apek’ dari Singapura atau Malaysia karena tidak perlu ’kerja keras’ sudah dapat uang daripada laki-laki lokal yang sering meminta berbagai gaya. ”Ah, capek. Uangnya kecil.” Itulah alasan mereka.

Maka, pertanyaan untuk Pemkot Batam atau Pemprov Kep Riau adalah: Apakah ada program yang konkret untuk memaksa laki-laki, wisatawan dan lokal, memakai kondom ketika sanggama dengan PSK atau gadis-gadis belia?

Tidak perlu menunggu jawaban karena memang tidak ada.

Ya, tentu saja tidak ada karena Pemkot Batam dan Pemprov Kep Riau akan berkelit: Di Batam dan di Kep Riau tidak ada lokalisasi pelacuran!

Kalau itu alasannya kita angkat tangan dengan bendera putih. Memang tidak ada lokalisasi pelacuran dalam bentuk regulasi di Batam dan Kep Riau.

Tapi, pertanyaan berikutnya adalah: Apakah di Kota Batam dan wilayah Kep Riau ada praktek pelacuran?

Kalau Pemkot Batam dan Pemprov Kep Riau tetap berpendirian teguh: Tidak ada, ya kita mau bilang apa lagi.

Namun, seorang dokter di Kota Batam pernah mempunyai pasien dua perempuan kakak-beradik yang memakai penutup kepala terdeteksi mengidap salah satu jenis IMS (infeksi menular seksual) yang sama. Mereka mengaku sebagai istri (sebagai ’istri simpanan’ dengan pernikahan yang sah berdasarkan agama) seorang laki-laki WN Malaysia.

Ada pula seorang dokter yang menjadi relawan di sebuah LSM yang mendampingi PSK di lokasi pelacuran Sangyong di Kota Batam. Dokter ini bingung untuk mengobati PSK karena rata-rata seorang PSK terdeteksi antara 3 – 5 jenis penyakit IMS. Soalnya, mana yang duluan diobat. Celakanya, selama pengobatan pun mereka tetap meladeni laki-laki ’hidung belang’.

Dulu ada rumah singgah (drop in centre) yang dikelola oleh Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam. PSK yang mengalami masalah, terutama kesehatan reproduksi, ditangani di rumah singgah ini. Tapi, belakangan tidak ada lagi donor yang mendanai sehingga rumah singgah itu tutup.

Ada upaya untuk mengajukan alokasi dana anggapan pada APBD Kota Batam untuk dana penanganan PSK yang bermasalah. Tapi, usul itu ditolak.

Yang bisa kita lihat kelak adalah ’ledakan AIDS’ yang ditandai dengan kian banyak penduduk yang membutuhkan perawatan di rumah sakit karena sudah mengidap penyakit-penyakit, disebut infeksi oportunistik, yang sulit disembuhkan, seperti TBC, ruam, jamur di rongga mulut, TBC, dll.

Penyakit-penyakit itulah kelak yang membawa mereka ke akhir hayat. Tapi, sebelum mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan sebelum mereka dipanggil tanpa mereka sadari mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain.

Itu terjadi karena Pemkot Batam dan Pemprov Kep Riau tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline