“Para pejabat pegawai negeri sipil (PNS) diwacanakan wajib mengikuti tes urine. … tes urine bagi pejabat PNS bertujuan agar terhindar dari penularan virus HIV/AIDS.” Ini pernyataan Sekretaris Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kota Bogor, Dwi Roman Pujo, seperti yang ada di berita “Tes Urine Agar PNS Terhindar dari Virus HIV” (republika.co.id, 11/7-2012).
Lho, apa ada kaitan antara tes urine dengan ‘agar terhindar dari penularan virus HIV/AIDS’?
Rupanya, menurut Dwi Roman Pujo: "Pelaksanaan tes urine ini juga merupakan perintah Wali Kota Bogor Diani Budiarto untuk mencegah penyalahgunaan narkoba di kalangan PNS di lingkup pemerintah kota."
Pernyataan di atas menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap penyalahgunaan narkoba dan penularan HIV/AIDS.
Pertama, tes urine terkait dengan penyalahgunaan narkoba merupakan langkah di hilir. Artinya, Pemkot Bogor, menunggu pewagainya tertular HIV dahulu baru urinenya dites.
Kedua, tidak semua penyalahgunaan narkoba terkait langsung dengan (risiko) penularan HIV/AIDS. Risiko tertular HIV/AIDS melalui narkoba hanya bisa terjadi pada penyalahguna narkoba dengan jarum suntik ketika jarum dipakai secara bersama-sama dengan bergantian. Narkoba oral dan hisap atau menyuntik sendiri tidak berisiko tertular HIV/AIDS.
Ketiga, mencegah penyalahgunaan narkoba bukan dengan tes urine, tapi menyadarkan pegawai agar tidak menyalahgunakan narkoba. Kalau ada pegawai yang terdeteksi narkoba pada urinenya mereka jelas sudah memakai (dengan resep dokter atau penyalahgunaan) narkoba.
Pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS menjadi biang kerok penyebaran HIV/AIDS di Indonesia karena masyarakat tidak mendapat informasi yang konkret tapi hanya disuguhi mitos (anggapan yang salah).
Disebukan pujla bahwa tes urine itu untuk menghindari perbuatan yang tidak terpuji seperti melakukan perbuatan asusila. Pihaknya mengakui sejauh ini belum ditemukan adanya PNS di lingkungan Pemkot Bogor sebagai pecandu narkoba atau yang terjangkit HIV/AIDS.
Pejabat itu rupanya tidak mengetahui kalau tidak semua cara penularan HIV terkait langsung dengan perbuatan asuslia.
Pernyataan Dwi Roman Pujoitu sangat menyakitkan bagi ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya karena hubungan seksual yang mereka lakukan di dalam ikatan pernikahan bukan perbuatan asusila. Begitu juga dengan yang tertular melalui jarum suntik, transfusi darah dan bayi yang tertular dari ibunya jelas bukan karena perbuatna asusila.
Terkait dengan pernyataan ‘sejauh ini belum ditemukan adanya PNS di lingkungan Pemkot Bogor sebagai pecandu narkoba atau yang terjangkit HIV/AIDS’, perlu dipertanyakan:
1). Apakah semua pegawai di lingkungan Pemkot Bogor sudah menjalani tes HIV? Kalau jawabannya BELUM, maka pernyataan itu tidak akurat.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Bogor per Oktober 2011 sebanyak 2.029 yang terdiri atas 1.332 HIV dan 697 AIDS dengan 56 kematian (metrotvnews.com, 2/12-2011).
Terkait dengan pernyataan belum ditemukan kasus HIV/AIDS pada pegawai di lingkungan Pemkot Bogor, maka pertanyaanya adalah: Apakah Pemkot Bogor bisa menjamin tidak ada pewagainya, terutama laki-laki, yang melacur tanpa kondom di wilayah Kota Bogor atau di luar Kota Bogor?
Kalau jawabannya BISA, ya syukurlah berarti tidak ada pegawai di lingkungan Pemkot Bogor yang berisiko tertular HIV.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada pegawai laki-laki di lingkungan Pemkot Bogor yang berisiko tertular HIV.
2). Apakah semua pegawai di lingkungan Pemkot Bogor sudah menjalani tes urine terkait narkoba? Kalau jawabanya BELUM, maka pernyataan itu pun tidak akruat.
Lagi pula tes HIV dan tes urine untuk narkoba hanya berlaku pada saat tes dilakukan karena setelah tes bisa saja ada pegawai yang tertular HIV dan menyalahgunakan narkoba.
Selain itu jika tes urine dilakukan terhadap semua pegawai, maka hal itu sudah menyamaratakan perilaku semua pegawai. Ini tidak etis karena tidak semua pegawai berperilaku berisiko tertular HIV dan penyalahguna narkoba.
Akan lebih arif kalau dilakukan skrining awal, misalnya dengan mengisi formulir atau wawancara singkat:
(1) Apakah dalam waktu tiga bulan terakhir pernah melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK? Kalau jawabannya tidak, maka mereka tidak perlu menjalani tes HIV.
(2) Apakah dalam dua pecan terakhir pernah memakai narkoba dengan resep dokter atau tanpa resep dokter? Kalau jawabannya tidak, mereka tidak perlu mengikuti tes urine.
Lagi-lagi pemahaman yang tidak akurat terhadap penyalahgunaan narkoba dan risiko penularan HIV/AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H