Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

AIDS di Mimika, Papua, Meningkat: Prihatin Karena Tanpa Program Penanggulangan yang Konkret

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Terus meningkatnya penularan penyakit HIV dan AIDS di Kabupaten Mimika, membuat resah Fabianus Jemadu, Anggota Komisi C DPRD Mimika, yang membidangi kesehatan. Ia mengaku cukup prihatin dengan adanya ratusan orang menderita HIV dan AIDS di Mimika yang selama ini ditangani RSUD Mimika.” Ini lead di berita “Penderita AIDS Meningkat, Anggota Dewan Resah” (jpnn.com, 6/7-2012).

Data KPA Mimika menunjukkan dari tahun 1996 sampai 31 Desember 2011 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Mimika 2.823 (sehatnews.com, 7/3-2012).

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk Tuan Fabianus adalah: Apakah DPRD Mimika membuat regulasi yang konkret dalam bentuk peraturan daerah untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kab Mimikia?

(Lokalisasi) Pelacuran

Anda boleh-boleh saja prithatin. Tapi, yang sangat memprihatinkan adalah kalau ternyata DPRD Mimika dan Pemkab Mimika, dalam hal ini KPA Kab Mimika, sama sekali tidak mempunyai langkah berupa program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Pertama, peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS, yaitu Perda No 11 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika yang disahkan tanggal 27 November 2007 sama sekali tidak bisa bekerja karena dalam perda itu tidak ada satu pasal pun yang merupakan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/09/perda-aids-kab-mimika-papua-tidak-menawarkan-cara-pencegahan-yang-konkret/).

Kedua, KPA Mimika mendenda pekerja seks komersial (PSK) yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan besaran denda Rp 3,5 – Rp 5 juta. Celakanya, uang denda itu dipinjamkan oleh germo sehingga PSK yang didenda itu karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS terpaksa ‘bekerja’ untuk membayar utangnya kepada germo (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/30/di-timika-papua-pekerja-seks-tertular-penyakit-didenda-rp-35-juta/).

Ketiga, sasaran penanggulangan yang ‘menembak’ PSK dengan denda jutaan rupiah sama sekali tidak ada manfaatnya dalam penanggulangan HIV/AIDS, karena; (a) ada laki-laki penduduk asli yang menularkan HIV kepada PSK tsb., (b) ada pula laki-laki penduduk asli yang tertular HIV dari PSK tsb.

Keempat, di tataran masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari.

Empat hal di atas ternyata luput dari perhatian Fabianus. Maka, kalau hanya dengan mengatakan prihatin tentulah tidak bisa menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Masih untuk Fabianus, pertanyaan berikut adalah: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk asli yang melacur tanpa kondom di Mimika atau di luar Mimika?

Celakanya, Fabianus hanya berpesan kepada seluruh stake holder, khususnya lembaga yang menangani HIV dan AIDS, untuk lebih meningkatkan sosialisasi terhadap masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga lainnya.

Yang diperlukan bukan sosialisasi tapi langkah yang konkret, al. program berupa intervensi yang konkret agar laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Fabianus boleh-boleh saja berkilah: Oh, di daerah kami tidak ada lokalisasi pelacuran!

Pernyataan yang masuk akal. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah Fabianus bisa menjamin di Mimika tidak ada praktek pelacuran?

Lagi-lagi Fabianus boleh-boleh saja menangkis: Tidak ada!

Pertanyaan lain: Apakah Fabianus bisa menjamin tidak ada laki-laki penduduk asli Mimika yang melacur tanpa kondom di luar Mimika?

Kalau Fabianus mengatakan: Bisa!

Maka, tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual.

KPA Mimika tinggal ‘menembak’ penyebaran melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya), transfusi darah, dan penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Persoalannya: Apakah KPA Mimika mempunya program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Perilaku Berisiko

Jika mengacu pada program di perda, maka jawabannya adalah: Tidak ada!

Disebutkan pula oleh Fabianus: “Jangan sampai ini terus menyebar. Perlu juga melakukan deteksi dengan melakukan tes bagi masyarakat, tinggal bagaimana pihak KPA dan aktifis lainnya meyakinkan masyarakat untuk melakukan tes.”

Fabianus lupa kalau tidak semua orang, dalam hal ini penduduk Mimika, yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko. Yang dianjurkan tes HIV adalah:

(a). Laki-laki dewasa penduduk Mimika yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Mimika atau di luar wilayah Kab Mimika.

(b)Perempuan dewasa penduduk mimika yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Mimika atau di luar wilayah Kab Mimika.

(c). Laki-laki dewasa penduduk Mimika yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Mimika atau di luar wilayah Kab Mimika.

Nah, salah satu yang memungkinkan ada di antara tiga kondisi di atas adalah: pegawai, karyawan, dan aparat karena mempunyai uang berupa penghasilan tetap. Persoalan sekarang ada pada orang-orang yang mempunyai uang apakah ada di antara mereka yang termasuk dalam tiga kategori di atas.

Di bagian lain disebutkan bahwa Fabianus juga mengatakan pihak KPA perlu terus mencari langkah strategis untuk penanggulangan penyebaran HIV dan AIDS.

Yang diperlukan memang langkah yang konkret, al. program yang realistis untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, kalau Fabianus mengelak dengan mengatakan di Mimika tidak ada lokalisasi pelacuran, maka tidak ada langkah konkret yang bisa dilakukan karena perilaku seksual berisiko terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat.

Disebutkan pula: Perlu terus membangun kesadaran masyarakat untuk menggunakan alat kontrasepsi, khususnya kondom.

Fabianus perlu memahami bahwa diperlukan waktu yang panjang untuk menyadarkan laki-laki agar memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Nah, pada rentang waktu itu sudah terjadi perilaku berisiko. Maka, program penyadaran harus berjalan bersama dengan intervensi yang konkret yaitu pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur.

Tanpa langkah yang konkret, maka mustahil menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Mimika. Dampak dari ketiadaan program yang tidak konkret adalah insiden infeksiHIV baru yang akan terus terjadi. Pada gilirannya akan terjadi ’ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline