Dikabarkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Palembang masih berfokus melakukan penjangkauan pada pekerja seks komersial, homo, lesbian, dan pengguna narkoba jenis jarum suntik. “Mereka itu berisiko tinggi terkena HIV/AIDS,” ujar Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kota Palembang, Sumatera Selatan, Zailani UD (KPA Terus Gencarkan Penyuluhan Bahaya HIV/AIDS, www.bipnewsroom.info, 20/6-2012).
Persoalan bukan terletak pada pekerja seks komersial (PSK), tapi pada laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK adalah laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal. Jika ini yang terjadi, maka di masyarakat ada laki-laki, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama malalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, ada kemungkinan PSK yang beroperasi di Kota Palembang sudah mengidap HIV/AIDS ketika tiba di Kota Palembang. Jika ini yang terjadi, maka laki-laki ‘hidung belang’, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, berisiko tertular HIV jika melakukan hubungan seskual tanpa kondom dengan PSK. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama malalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dua hal itulah yang selalu diabaikan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Maka, yang diperlukan bukan sosialisasi HIV/AIDS dan penggunaan kondom kepada PSK, tapi intervensi yang konkret agar laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Tanpa ada intervensi maka PSK tidak akan mempunyai posisi tawar yang kuat untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom.
Keengganan laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Belum ada kasus penularan HIV/AIDS dengan faktor risiko lesbian. Lagi pula adalah hal yang mustahil KPA Kota Palembang bisa mengenali lesbian karena komunitas lesbian sangat tertutup. Mereka tidak bisa dikenali secara fisik.
Yang berisiko menularkan dan tertular HIV justru laki-laki ‘hidung belang’, tapi ini luput dari perhatian karena penanggulangan HIV/AIDS berpijak pada moral sehingga hanya menjadikan PSK sebagai ‘sasaran tembak’.
Penanggulangan HIV/AIDS di Kota Palembang tidak dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Bahkan, dalam perda AIDS pun tidak ada langkah yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/21/menyoal-kiprah-perda-aids-palembang/).
Sepanjang Januari - Mei tahun ini terdeteksi 36 kasus HIV/AIDS baru. Sedangkana tahun 2011 terdeteksi 70 kasus.
Zailani mengimbau mereka yang berisiko tinggi terkena HIV/AIDS (homo, lesbian, PSK, pengguna narkoba jarum suntik) agar tidak segan-segan memeriksakan diri ke rumah sakit.
Pernyataan Zailani di atas menunjukkan penanggulangan yang tidak konkret. Yang berisiko tertular HIV justru laki-laki ’hidung belang’.
Maka, yang dianjurkan tes HIV adalah laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, waria serta pelaku kawin-cerai.
Salama KPA Kota Palembang tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV di ’Kota Pempek’ akan terus terjadi. Pemkot Palembng tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H