Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Pengobatan ’Penyakit Kelamin’ Terkait HIV/AIDS adalah Penanggulangan di Hilir

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

* Pasien IMS enggan berobat karena selalu diceramahi

* Remaja pengidap IMS pun enggan berobat karena harus didampingi orang tua

”Kementerian Kesehatan akan meningkatkan pengobatan penyakit kelamin. Hal itu dirasa efektif untuk menurunkan resiko penularan HIV/AIDS melalui aktivitas seksual.” Ini lead berita ”Cegah AIDS, Pengobatan Penyakit Kelamin Harus Ditingkatkan” di TRIBUNnews.com (15/6-2012).

Istilah ’penyakit kelamin’ tidak tepat karena tidak semua penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, infeksinya terjadi di alat kalamin, al. virus Hepatitis B dan HIV/AIDS. Infeksi penyakit ini terjadi di darah.

Istilah yang tepat untuk penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, seperti virus Hepatitis B, GO, sifilis, klamidia, jengger ayam, dll. adalah infeksi menular seksual (IMS) yang merupakan terjemahan dari sexually transmitted infections (STIs).

Jika ada infeksi IMS di alat kelamin, maka itulah yang memudahkan HIV masuk ke dalam tubuh melalui hubungan seksual tanpa kondom.

Laporan WHO (2011) menujukkan setiap tahun terjadi 448 juta infeksi IMS baru, terutama GO (gonorrhoea), sifilis, klamida, dll. IMS pada perempuan hamil yang tidak diobati 25 persen akan ditularkan kepada bayi yang dilahirkannya dan 15 persen terjadi kematian pada kelahiran.

Sayang, tidak ada data kasus IMS di Indonesia. Pembelian obat antibiotik di sekitar lokasi hiburan malam, lokasi pelacuran, dan penjual obat kaki lima menunjukkan banyak pembelinya.

Tapi, dalam kaitan epidemi HIV mengobati IMS adalah langkah penanggulangan di hilir. Artinya, ketika seseorang sudah mengidap salah satu penyakit IMS maka dia sudah tertular IMS. Jika yang menularkan IMS juga mengidap virus Hepatitis B dan HIV maka ada kemungkinan sekaligus juga terjadi penuaran Hepatitis B dan HIV.

"Pengobatan penyakit kelamin perlu ditingkatkan karena pengobatan itu lebih efektif dan tersebar di seluruh Indonesia untuk mencegah terjadinya penularan." Ini disampaikan Menteri Kesehatan, dr Nafsiah Mboi, DSpA, MPH.

Persoalannya adalah banyak yang malu berobat ke rumah sakit, puskesmas atau dokter karena selalu dicerami dengan jargon-jargon moral. Selain itu anak-anak dan remaja yang mengidap IMS pun tidak bisa berobat sendiri karena harus didampingi orang tua.

Tentu saja remaja tidak akan mungkin memberitahu penyakit IMS yang dideritanya kepada orang tuanya.

Akibatnya, banyak laki-laki yang memilih membeli obat di kaki lima. Celakanya, banyak obat palsu. Selain itu setiap jenis penyakit IMS berbeda obatnya sehingga harus melalui diagnosis dokter.

Sedangkan perempuan yang tertular IMS tidak menunjukkan gejala yang khas seperti ada laki-laki. Jika laki-laki tertular IMS, selain Hepatitis B dan HIV, akan merasakan nyeri ketika kencing atau ada cairan di penis. Sedangkan perempuan tidak nyeri. Yang terjadi adalah ’keputihan’ yaitukeluar cairan dengan bau.

Celakanya, perempuan yang tertular IMS pun menganggap hal itu hanya keputihan biasa. Mereka menjari ’jamu’ dan obat-obat yang dijual bebas.

Maka, salah satu langkah yang perlu segera dilakukan Kemenkes adalah mendidik dokter dan tenaga kesehatan agar tidak perlu mencerahami orang-orang yang berobat dengan indikasi IMS. Juga remaja tidak perlu didampingi orang tua selama pengobatan tidak sampai pada tindakan pembedahan.

Menurut Nafsiah: ” .... perlu dicari terobosan baru untuk menanggulangi penyebaran AIDS dengan pendekatan yang integratif.”

Sayang, wartawan tidak bertanya terobosan konkret macam apa yang akan dijalankan oleh Kemenkes.

Akhir-akhir ini mulai banyak ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ini membuktikan suami mereka melalukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan lain. Bisa juga dengan waria atau laki-laki yang dikenal sebagai LSL yaitu Lelaki Suka Seks Lelaki (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/19/fenomena-laki-laki-suka-seks-laki-laki-dalam-epidemi-aids/).

Maka, langkah yang perlu dilakukan Kemenkes adalah membuat program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Tentu saja hal itu bisa dilakukan kalau pelacuran diregulasi dengan cara membuat lokalisasi. Celakanya, semua pemerintah daerah justru menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran.

Maka, ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat praktek pelacuran yang tersebar akan menjadi ’terminal’ penyebaran IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Yaitu dari masyarakat, dalam hal ini laki-laki ‘hidung belang’ ke pekerja seks dan dari pekerja seks ke laki-laki ‘hidung belang’.

Tanpa langkah yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks akan terus meningkat. Buktinya dapat dilihat dari pertambahan jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline