Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

HIV/AIDS di Jawa Barat Banyak Terdeteksi pada Pengangguran

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Penularan HIV/AIDS saat ini tidak hanya rawan bagi profesi yang berisiko terjangkit seperti wanita pekerja seks (WPS) maupun konsumennya. Hal itu termasuk dengan ditemukannya dua pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan pemerintahan Kota Tasikmalaya sejak 2009 lalu yang positip mengidap positif HIV. Sementara di Jawa Barat tercatat sekira 200 PNS divonis penyakit tersebut.” Ini lead berita “Dua PNS Kota Tasikmalaya Positif HIV” (www.pikiran-rakyat.com,

Fakta lain yang sering luput dari perhatian adalah penularan HIV terhadap WPS justru dilakukan oleh laki-laki pelanggan WPS yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan WPS.

Salah satu risiko tertular HIV adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan WPS. Tentu diperlukan uang untuk bisa kencan dengan WPS. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada PNS yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena mereka mempunyai penghasilan yang tetap.

Data KPA Provinsi Jabar mencatat jumlah pengidap HIV/AIDS dari tahun 1989 sampai tahun 2011 adalah1.532 pada penduduk yang tidak bekerja, wiraswasta 896, karyawan 870, ibu rumah tangga 663, mahasiswa/siswa 249, dan WPS 280.

Data tsb. menimbulkan pertanyaan. Mengapa jumlah pengidap HIV/AIDS yang banyak terdeteksi justru pada ’orang yangtidak bekerja’?

Sayang, wartawan tidak menelisik data ini di tataran realitas sosial sehingga tidak ada pemaparan tentang (a) mengapa hal itu terjadi, dan (b) bagaimana hal itu terjadi.

Kalau wartawan mengembangkan dua pertanyaan itu tentulah ada gambaran ril mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pengangguran.

Penyebaran HIV/AIDS di Kota Tasikmalaya tidak akan bisa ditanggulangi karena Pemkot Tasikmalaya tidak mempunyai program yang konkret. Bahkan, dalam Perda AIDS Kota Tasikmalaya pun tidak ada pasal yang konkret terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/25/menguji-peran-perda-aids-kabupaten-dan-kota-tasikmalaya/).

Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah Pemkot Tasikmalaya bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering bernganti-ganti pasangan, seperti WPS?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual di Kota Tasikmalaya.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka ada persoalan besar yang terjadi di Kota Taksikmalaya yaitu insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungang seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti WPS. Laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, yang diperlukan di Kota Tasikmalaya adalah intervensi berupa regulasi untuk menerapkan program penanggulangan yang konkret, terutama untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti WPS.

Jika tidak ada langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Tasikmalaya akan terus terjadi. Tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline