Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

AIDS Jadi Ganjalan ‘Jalan Damai’ di Tanah Papua

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Setelah otonomi khusus, kasus HIV/AIDS kok meningkat? Padahal dana yang dialokasikan terbilang besar dan bisa dipakai untuk kampanye HIV/AIDS." Ini adalah pernyataan Mufti Makaarim, Direktur Eksekutif Institute for Defence Security and Peace Studies (IDSPS). (Penyelesaian Masalah Papua Masih Sisakan Kendala, www.gatra.com, 23/3-2012).

Ada beberapa hal tentang HIV/AIDS yang terkait langsung dengan pernyataan di atas.

Pertama, ada pernyataan ’kasus HIV/AIDS kok meningkat?’. Kalau yang dimaksud Mufti adalah laporan kasus jelas akan terus meningkat, bahkan sampai kiamat pun. Soalnya, pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya.

Kedua, jumlah kasus yang terdeteksi (10.725 di antaranya 116 balita) adalah penanganan di hilir. Langkah ini merupakan bagian dari upaya memutus mata rantai penyebaran HIV melalui penduduk yang sudah mengidap HIV. Artinya, ada pembiaran di hulu sehingga kian banyak penduduk lokal yang tertular HIV, terutama malalui sanggama tanpa kondom dengan PSK.

Pertanyaannya adalah: Apakah kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi merupakan hasil dari penyuluhan? Ternyata tidak! Soalnya, banyak kasus HIV/AIDS pada masyarakat lokal terdeteksi di masa AIDS ketika mereka berobat ke puskesmas atau rumah sakit. Penyakit yang mereka derita sulit sembuh sehingga harus dirawat. Penyakit itu terkait dengan HIV/AIDS.

Ketiga, biar pun ada dana yang besar untuk penanggulangan HIV/AIDS melalui dana otonomi khusus ternyata tidak mendorong masyarakat secara sukarela untuk melakukan tes HIV. Akibatnya, penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, terus terjadi secara horizontal di masyarakat lokal.

Celakanya, kampanye yang dilakukan tidak mengedepankan fakta medis tentang HIV/AIDS dalam materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pasal-pasal dalam peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Tanah Papua, misalnya, tidak ada satu pun yang memberikan cara pencegahan yang konkret.

Ketika dunia memetik hasil dari sosialisasi kondom untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, terutama pada laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK), di Tanah Papua justru sebaliknya. Kondom diabaikan dan diganti dengan sunat pada laki-laki.

Masalah baru muncul karena tidak mudah bagi laki-laki dewasa Papua untuk disunat. Lagi pula sunat sudah diidentifikasikan dengan agama Islam sehingga bisa menimbulkan friksi sosial.

Yang jadi persoalan besar adalah sunat bukan untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, tapi menurunkan risiko karena kepala penis jadi keras. Padahal, luas kepala penis hanya sebagian kecil dari luas permukaan penis. Maka, risiko penularan tetap tinggi karena luas permukaan terbuka yang bisa menjadi pintu masuk HIV ketika sanggama.

Sayang, Pemprov Papua tetap memilih sunat daripada kondom (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/20/aids-di-papua-sunat-bisa-menjerumuskan-karena-dianggap-kondom-alam/).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline