Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Menyibak Perda Pemberantasan Pelacuran Kab Batang, Jateng

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1332123344148504448

* Perda berat sebelah atau bias gender karena hanya menjadikan perempuan (pekerja seks komersial/PSK) sebagai ‘sasaran tembak’

Pemerintah Daerah Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah, menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 6 Tahun 2011 tanggal 22 Juni 2011 tentang Pemberantasan Pelacuran di Wilayah Kabupaten Batang.

Apakah perda itu bisa memberantas (praktek) pelacuran di Kab Batang?

Tentu saja tidak! Sama seperti perda-perda lain yang sejenis perda ini pun hanyalah copy-paste. Lagi pula yang menjadi sasaran hanya perempuan (baca: PSK). Padahal, pelacuran hanya bisa terjadi kalau ada laki-laki yang melakukan ‘transaksi’ seksual dengan PSK.

Pandangan dan asumsi terhadap pelacuran selalu memakai kaca mata kuda yang bertumpu pada moralitas (semu) laki-laki. Pemberantasan pelacuran selalu menjadikan PSK sebagai ‘sasaran tembak’ yang empuk karena PSK sudah ditempatkan pada posisi yang amoral dan asusila.

Padahal, praktek pelacuran tidak akan pernah terjadi kalau tidak ada laki-laki yang mendatangi pelacuran untuk ‘memadu cinta birahi’ dengan bayaran tertentu. Celakanya, karena ada upaya menggiring pendapat masyarakat bahwa pelacuran hanya masalah PSK, maka laki-laki sebagai bagian yang integral dengan praktek pelacuran luput dari perhatian.

Lebih tidak masuk akal lagi yang dijadikan objek rehabilitasi hanya PSK. Apakah laki-laki ’hidung belang’ tidak memerlukan rehabilitasi sosial dan moral?

Seorang laki-laki beristri yang melacur sudah melakukan perbuatan yang menodai cinta kasih dengan istrinya dan kesakralan pernikahan yang dibangun berlandaskan kaidah-kaidah agama yang suci.

[caption id="attachment_166941" align="aligncenter" width="486" caption="Gambar 1"][/caption]

Jika disimak Gambar 1, maka laki-laki yang melacur adalah orang yang melakukan perbuatan yang melawan norma, moral dan agama. Ini menunjukkan laki-laki ’hidung belang’ mengalami disfungsi norma, moral dan agama di tataran sosial.

Tapi, karena ada pemahaman yang salah terkait dengan penafsiran dalam agama, maka laki-laki pun menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat sehingga laki-laki selalu tampil dengan ’baju moral’ yang semu.

Lihat saja di pasal 1 ayat 11: ”Rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.”

Rehabilitasi sosial jelas ditujukan kepada PSK seperti yang disebut pada pasal 16 ayat 1 ”Pemerintah daerah melakukan pencegahan dan penanggulangan pelacuran, serta pembinaan terhadap orang atau sekelompok orang yang terbukti melakukan perbuatan sebagai pelacur”, dan ayut 2: ”Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi sosial.”

Pasal-pasal itu mengesankan fungsi sosial PSK di masyarakat rusak. PSK adalah bagian dari masyarakat. Mereka hidup pada komunitasnya di lingkungan masyarakat. Bandingkan dengan laki-laki ’hidung belang’ yang dianggap tidak mengalami disfunsi sosial. Padahal, laki-laki ’hidung belang’ melakan perbuatan yang melanggar norma sosial dan agama karena melakukan hubungan seksual denganperempuan lain di luar pernikahan.

Apa yang dilakukan pemerintah daerah terhadap PSK? Di pasal 16 ayat 3 disebutkan bahwa rehabilitasi sosial sebagaimana diamanatkan pasal 16 ayat 1 dan 2 adalah: (a) bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis; (b) bimbingan, pendidikan, dan penyuluhan rohaniah dan jasmaniah.

Di era Orde Baru dikenal program resosialisasi terhadap PSK yang dipusatkan di lokalisasi pelacuran. Tapi, hasilnya nol besar karena tidak menjadi pilihan bagi PSK. Selain itu program yang dijalankan pun top-down (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).

Ternyata alat bukti untuk menentukan apakah seorang perempuan berperan sebagai PSK hanyalah berdasarkan indikasi atau bukti kuat. Tapi, dalam perda tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan ’bukti kuat’ terkait dengan pelacuran.

Lihat saja di pasal 10 ayat 1 huruf b disebutkan: ”Bupati atau Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas di bidang penegakan peraturan daerah berwewenang melakukan razia terhadap orang yang sikap atau perilakunya menunjukkan indikasi yang kuat sehingga patut diduga orang tersebut sebagai pelacur, yang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, tempat wisata, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di wilayah daerah.”

Maka, amatlah naif kalau kemudian polisi dari Polres Batang menangkap tiga perempuan di lokasi pelacuran Boyong Sari, Kel Karangasem Selatan, Kec. Batang, pada siang hari bolong di tempat pendaftaran klinik pelayanan kesehatan dan di jalan menuju klinik dengan alasan tiga perempuan itu diindikasikan sebagai PSK (6/3-2012).

Celakanya, hakim pun memvonis tiga perempuan itu sebagai PSK tanpa alat bukti yang membuktikan ketiga perempuan itu melakukan hubungan seksual di luar nikah sebagai bentuk pelacuran (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/14/penanggulangan-hivaids-di-kab-batang-jateng-layanan-kesehatan-vs-razia-polisi-terhadap-pekerja-seks/).

Pemberantasan pelacuran di Indonesia dilakukan dengan semangat moral yaitu hanya menjadikan perempuan sebagai ’biang keladi’. Perda pun tidak adil dalam menentukan pihak yang bersalah karena selalu menyebut ’setiap orang’, tapi dalam prakteknya sasarannya selalu perempuan (baca: PSK).

Lihatlah di pasal 3 ini: ”Setiap orang di wilayah daerah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang membujuk/merayu, mempengaruhi, memikat, mengajak, dan/atau memaksa orang lain dengan kata-kata, isyara, tanda, dan/atau perbuatan yang mengakibatkan perbuatan pelacuran.”

Selanjutnya di pasal 6 disebutkan: ”Setiap orang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, dilarang melakukan perbuatan cabul dengan siapapun yang mengarah pada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.”

Ternyata yang merancang perda ini tidak memahami realitas sosial terkait dengan (praktek) pelacuran. Pasal 3 itu menembak pelacur jalanan. Sedangkan PSK di lokasi pelacuran tidak melakukan kegiatan seperti yang disebutkan pada pasal 3 karena yang mendatangi, membujuk dan mengajak PSK melacur adalah lak-laki.

Praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung (’pelajar’, ’mahasiswi’, ’karyawati’, ’cewek kafe’, ’cewek disko’, ’ibu-ibu rumah tangga’, dll.) justru dilakukan secara tertutup melalui telepon atau kurir (karyawan hotel, tukang parkir, tukang becak, sopir taksi, dll.). Kegiatan ini pun tidak terjadi di tempat yang bisa dilihat oleh umum (rumah, kos-kosan, apartemen, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, dll.).

Terkait dengan penangkapan tiga perempuan di lokasi pelacuran Boyong Sari, Kel Karangasem Selatan, Kec. Batang, oleh polisi dari Polres Batang (6/3-2012) jelas tidak memenuhi unsur pelanggaran seperti diatur dalam pasal 3 karena tiga perempuan itu sama sekali tidak melakukan hal yang disebut pada pasal 3. Bahkan, salah seorang yang ditangkap polisi adalah seorang perempuan yang sedang mendaftar di klinik bergerak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Padahal, di pasal 8 disebutkan ada pengecualian terhadap larangan mendatangi tempat/rumah yang mempunyai indikasi atau bukti kat diduga sebagai tempat pelacuran, yaitu di ayat b: ”Orang atau sekelompok orang yang sedang menjalankan tugas dinas remsi atau untuk kepentingan/urusan dinas yang dibuktikan dengan surat dinas.”

Jika ’sasaran tembak’ pemberantasan pelacuran hanya PSK, maka selama itu pula praktek pelacuran akan terus terjadi. Perda ini malah mengajak partisipasi masyarakat melalui pasal 13 ayat 1: ”Setiap orang berkewajiban melaporkan kepada petugas atau pejabat yang berwewenang, apabila mengetahui secara langsung atau menduga kuat ada tempat di wilayah daerah yang digunakan untuk pelacuran.”

Tentu saja laki-laki ’hidung belang’ tidak akan pernah melaporkan tempat yang dijadikan sebagai tempat pelacuran.

Maka, yang perlu dilakukan adalah intervensi terhadap laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK. Soalnya, biar pun tidak ada tempat pelacuran terbuka praktek pelacuran tetap akan terjadi melalui cara-cara yang sangat khas.

Persoalannya adalah: Apakah Pemkab Batang bisa mengajak agar tidak ada lagi laki-laki dewasa penduduk Batang yang melacur, baik di wilayah Kab Batang maupun di luar wilayah Kab Batang?

Kalau saja perda itu dirancang berdasarkan jawaban dari pertanyaan di atas, maka perda itu akan berjalan untuk memberantas (praktek) pelacuran. Tapi, karena dirancang dengan semangat moral, maka perda itu pun tidak menyentuh akar persoalan pelacuran secara umum. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline