Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Pekerja Seks di Papua Jadi ‘Kambing Hitam’ Penyebaran HIV/AIDS

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

”Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki kerentanan HIV-AIDS yang tinggi akibat perubahan ekonomi dan sosial di lingkungan masyarakat.” Ini kesimpulan di lead berita ”PSK Rawan Terjangkit HIV-AIDS” (www.cenderawasihpos.com, 8/3-2012).

Judul berita itu sendiri tidak objektif karena yang menularkan HIV/AIDS kepada pekerja seks komersial (PSK) justru laki-laki lokal, bisa asli atau pendatang. Lalu, ada pula laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang kemudian tertular HIV dari PSK.

Mengapa laki-laki lokal itu menularkan HIV/AIDS kepada PSK dan mengapa pula ada laki-laki lokal yang tertular HIV dari PSK?

Jawaban dari pertanyaan inilah kuncinya. Hal itu terjadi karena laki-laki lokal tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Ini fakta.

Maka, jangan heran kalau kemudian penyebaran HIV terus terjadi di Papua. Data terakhir menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua sudah mencapai 10.222.

Tapi, karena HIV/AIDS dibicarakan pada pijakan moral maka fakta itu pun digelapkan. Muncullah berbagai macam jargon moral yang sama sekali justru menutupi fakta sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Lihat saja yang dilakukan oleh Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Papua ini. Mereka melatih PSK terkait dengan upaya menegosiasikan kondom kepada laki-laki. Pelatihan ini jelas bias gender dan tidak melihat realitas sosial terkait dengan posisi tawar PSK dalam meminta agar laki-laki memakai kondom.

Ternyata kita bangsa yang tidak bisa belajar dari (keberhasilan) bangsa lain. Thailand sudah bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang sanggama dengan PSK.

Program itu dijadikan ide pembuatan peraturan daerah (perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, tapi dengan setengah hati. Bahkan, dalam perda-perda di Papua, termasuk Perda AIDS Prov Papua, realitas sosial praktek pelacuran diabaikan dan disebut sebagai ’tempat-tempat berisiko’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).

Yang perlu dilakukan adalah intervensi kepada germo atau mucikari bukan kepada PSK karena yang berkuasa adalah germo. Thailand memberikan sanksi kepada germo kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.).

Celakanya, di Papua yang dilakukan terbalik. Yang ditangkap dan dimasukkan ke bui justru PSK. Ya, satu PSK ditangkap puluhan PSK ’baru’ akan menggantikan posisi PSK yang dibui itu. Ini terjadi di Merauke (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/31/aids-di-merauke-papua-psk-digiring-ke-bui-pelanggan-suami-menyebarkan-hiv-ke-istri/).

Selain itu laki-laki lokal, bisa saja penduduk asli, yang menularkan IMS bisa juga sekaligus dengan HIV/AIDS kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Kasus IMS dan HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami merekalah yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya kepada PSK dan yang tertular IMS dan HIV atau dua-duanya dari PSK.

Mengabaikan pelacuran, tapi melatih pelacur! Ini ironis dan merupakan paradoks di sebuah bangsa yang selalu berteriak-teriak berbudaya dan beragama. Soalnya, menutup mata terhadap praktek pelacuran merupakan kemunafikan.

Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM), Drs TG Butarbutar, MKes, mengatakan, epidemi HIV-AIDS di Papua merupakan tantangan serius bagi masyarakat Papua, sehingga perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat dan khususnya bagi para PSK. Ia menilai, para PSK ini sangat berisiko untuk terjangkit maupun menyebarkan HIV-AIDS di Papua khususnya di Kota Jayapura.

Butar-butar juga melakukan bias gender. Dia mengabaikan laki-laki Papua yang menyebarkan HIV/AIDS di masyarakat. Ya, jelaslah PSK berisiko tertular HIV karena laki-laki Papua tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. Ini fakta. Tapi, lagi-lagi diabaikan agar PSK yang menjadi ’sasaran tembak’ sebagai ’kambing hitam’.

Menurut Butar-butar “Perlu ada pelatihan dan sosialisasi kepada para PSK, sehingga mereka bisa mengetahui dan memahami resiko-resiko dan sekaligus mengurangi penyakit kelamin dan penularan IMS, HIV-AIDS di Papua.”

Apakah benar PSK tidak mengetahui risiko IMS dan HIV?

Dalam sebuah acara di Jakarta ada dialog antara wartawan dan PSK.

Wartawan: ”Mbak, apa gak takut kena AIDS?”

PSK: ” AIDS? Wow.... Takut. Mas, kalau malam ini saya tidak melacur besok saya mati kelaparan. Kena AIDS? Ah, baru mati lima atau 15 tahun lagi.”

Wartawan: ? (mati gaya atau mati kutu).

Apakah Pak Butar-butar tidak mengetahui kalau posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah?

PSK tahu betul risiko tertular IMS dan HIV, tapi mereka tidak mempunyai pilihan ketika berhadapan dengan laki-laki yang tidak mau memakai kondom.

Pertama, germo brepihak pada laki-laki. Biasanya laki-laki ’hidung belang’ akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.

Kedua, PSK membutuhkan uang karena kalau dia tolak laki-laki yang tidak mau pakai kondom maka hilanglah kesempatannya untuk mendapatkan uang. PSK harus membayar sewa kamar, makan, cicilan pakaian, cicilan ongkos, dll. kepada germo.

Celakanya, di Papua pendeta pun menolak kondom. Ada pendeta yang mengatakan: “No Kondom, No Seks” Lalu, apa, dong, yang bisa diberikan Pak Pendeta untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV di kalangan masyarakat asli Papua?

Selama Pemprov Papua, pemuka masyarakat dan pemuka agama tetap berpijak dengan jargon moral dalam menanggulangai penyebaran HIV, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Papua.

Penanggulangan HIV/AIDS kian kacau di Papua karena pemerintah di sana justru mengedepankan sunat daripada kondom (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/20/aids-di-papua-sunat-bisa-menjerumuskan-karena-dianggap-kondom-alam/).

Tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’ karena perilaku seks laki-laki Papua yang tidak mau memakai kondom ketika sanggama dengan PSK. ***[Syaiful W. Harahap]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline