Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Apakah Benar Enak Menjadi PSK?

Diperbarui: 8 April 2023   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: sciencenordic.com)


*Catatan: Naskah ini tanggapan terhadap berita Harian “Radar Bromo” sebagai gambaran pandangan terhadap pekerja seks sembilan tahun yang lalu dan sekarang.


Berita “Ditanya Orgasme, Dijawab Mesem” yang dimuat Harian “Radar Bromo” edisi 31 Oktober 2003 menggambarkan keterpurukan PSK (pekerja seks komersial) sebagai manusia. Tak ada empati dalam berita itu.


Pernyataan hakim, Abdul Kohar SH, seperti dikutip wartawan “Radar Bromo”: “Pekerjaan ini memang enak dan mudah dapat uang” merupakan asumsi karena tidak didukung dengan fakta empiris. Beberapa penelitian tentang PSK menunjukkan mereka terpaksa menggeluti pekerjaan itu karena berbagai alasan.


“Tawa kami adalah tangis hati kami”. Itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut PSK jika ditanya dengan empati.

Maaf, Pak Hakim, apa benar menjadi PSK enak?


Bukankah tidak lebih enak menjadi koruptor? Ketika korupsi dan praktek KKN mendera negeri ini tak satu pun wartawan yang menyebutkan koruptor dan pelaku KKN sebagai ‘orang yang  tuna susila’. Begitu pula dengan laki-laki ‘hidung belang’ tidak pernah disebut sebagai ‘laki-laki tuna susila’. Sebaliknya, PSK dicap sebagai ‘wanita tuna susila’. Ini jelas tidak adil.


Tarif yang mereka tetapkan tidak semuanya mereka kantongi. Ada bagian calo, mucikari, keamanan, preman, dll. Sayang, wartawan yang menulis berita itu tidak mengaitkan berbagai fakta empiris yang terkait dengan praktek prostitusi. Ini menunjukkan wartawan memakai sudut pandang moralitas dirinya sendiri ketika menulis berita sehingga berita yang muncul tidak komprehensif.


PSK merupakan penduduk yang tercerabut dari komunitasnya sehingga mereka berada pada posisi powerless dan voiceless. Dalam berita itu wartawan menjadi ‘hakim’ yang menjadikan PSK sebagai objek (berita) sehingga tidak ada empati sama sekali.


Empati bukan simpati karena kalau simpati berita yang muncul hanyalah sensasi. Empati adalah upaya untuk menyelami perasaan PSK dan menjadikan mereka sebagai subjek berita sehingga muncul berita yang komprehensif. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline