Risiko penularan HIV diperkirakan melalui faktor risiko (mode of transmission) yaitu: (a) hubungan seksual, (b) transfusi darah, (c) jarum suntik, dan (d) air susu ibu (ASI).
Dikabarkan di Prov Bali sejak beberapa tahun terakhir penularan HIV didominasi melaui heteroseksual (Kasus HIV/AIDS di Bali. Mayoritas Melalui Hubungan Seks, Harian “ Bali Post”, 20/2-2012).
Faktor risiko penularan HIV adalah hubungan seksual, sedangkan heteroseksual, biseksual dan homoseksual adalah orientasi seks. Jumlah kasus penularan HIV berdasarkan faktor risiko menunjukkan perilaku masyarakat di Bali (Lihat Gambar 1).
Gambar 1
Selama ini faktor risiko selalu dikaitkan dengan jarum suntik melalui penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ada beberapa hal yang luput dari kondisi ini.
Pertama, kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba karena mereka wajib menjalani tes HIV ketika hendak masuk rehabilitasi.
Kedua, tidak bisa dibuktikan secara faktual bahwa seorang penyalahguna narkoba memang benar tertular melalui jarum suntik. Soalnya, bisa saja terjadi sebelum menjadi penyalahguna narkoba mereka sudah melakukan hubungan seksual yang berisiko. Selama menyalahguna narkoba pun ada di antara mereka yang juga melakukan hubungan seksual yang berisiko. Maka, faktor risiko narkoba itu hanya perkiraan.
Ketiga, kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme untuk mendeteksinya. Banyak kasus terdeteksi di rumah sakit ketika mereka menderita penyakit terkait dengan HIV/AIDS, seperti diare, TB, dll.
Karena sudah ada bukti penularan didominasi faktor risiko hubungan seksual, maka program penanggulangan yang dijalankan oleh KPA Bali tentulah mengacu ke faktor risiko ini. Celakanya, dalam perda-perda AIDS yang ada di Bali tidak satu pun yang menawarkan cara pencegahan yang realistis (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_162938" align="aligncenter" width="468" caption="Gambar 2"] [/caption] Perda AIDS Prov Bali sendiri tidak memuat pasal-pasal pencegahan yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/30/menguji-perda-aids-bali/). Begitu pula dengan perda-perda lain (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/29/menyibak-perda-perda-penanggulangan-aids-di-bali/).
Pertanyaannya adalah: Jika faktor risiko penularan HIV di Bali didominasi melalui hubungan seksual, bagaimana dan mengapa hal itu terjadi?
Kalau penularan terjadi melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, lokasi dan lokalisasi pelacuran), maka Pemprov Bali perlu memikirkan membuat regulasi pelacuran berupa lokalisasi agar program keharusan memakai kondom bisa diterapkan secara konsisten.
Seperti yang sudah dilakukan oleh Thailand program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dewasa di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir menurunkan insiden infeksi HIV baru.
Celakanya, di Bali penyebaran HIV justru didorong oleh PSK tidak langsung yaitu: PSK yang tidak mangkal tapi bisa ’dipesan’ dan hubungan seksual dilakukan di losmen, hotel melati dan hotel berbintang, seperti ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu rumah tangga’, selingkuhan, dll. (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Ketika ada wacana untuk melokalisir pelacuran di Denpasar gelombang penolakan pun bak tsunami. Ini mengesankan masyarakat menutupi realitas sosial terkait dengan (praktek) pelacuran di Denpasar karena kalau lokalisasi maka mereka menepuk dada untuk mengatakan: Di sini tidak ada (lokalisasi) pelacuran!
Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali, Made Suprapta: ''Semakin banyak kasus terungkap, itu bukan berarti buruk. Justru menunjukkan semua unit kegiatan penanganan HIV/AIDS di daerah kita telah berjalan dengan baik. Yang jelas, untuk kasus infeksi baru, kami berusaha menekan seminimal mungkin.''
Suparta benar. Tapi, pengungkapan kasus merupakan penanggulangan di hilir. Artinya, yang terjadi adalah orang tertular HIV dahulu baru ditangani (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/09/penanggulangan-aids-di-indonesia-hanya-dilakukan-di-hilir/).
Kasus-kasus yang terdeteksi itu hanyalah bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (5.639) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 3)
[caption id="attachment_162939" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 3"]
[/caption]
Maka, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu yaitu mencegah infeksi HIV baru. Bali sendiri menyatakan bisa mencapai ‘nol infeksi HIV baru’ di Kab Badung dan Kota Denpasar (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/02/18/’nol-infeksi-hiv-baru’-mimpi-penanggulangan-hivaids-di-bali/).
Suparta mengatakan: “ …. untuk kasus infeksi baru, kami berusaha menekan seminimal mungkin, ….” Tapi dalam berita tidak ada penjelasan langkah-langkah konkret yang dilakukan KPA Bali untuk menekan infeksi HIV baru (hulu).
Menurut Suprapta, tahun ini ada tujuh prioritas kegiatan penanganan HIV/AIDS, al. program pencegahan melalui hubungan seksual (PMTS paripurna), dan penyelenggaraan program pencegahan dari ibu ke bayi (PMTCT).
Pencegahan HIV melalui hubungan seksual hanya bisa dilakukan melalui pemakaian kondom, terutama pada hubungan seksual yang berisiko, yaitu:
(a). Bagi laki-laki dewasa penduduk Bali yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Prov Bali, di luar wilayah Prov Bali dan di luar negeri.
(b). Bagi laki-laki dewasa penduduk Bali yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Prov Bali, di luar wilayah Prov Bali dan di luar negeri.
(c) Bagi perempuan dewasa penduduk Bali untuk meminta laki-laki pasangan kencannya, di dalam atau di luar nikah, agar memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual di wilayah Prov Bali, di luar wilayah Prov Bali dan di luar negeri.
Kalau Pemprov Bali tidak bisa melakukan intervensi terkait dengan perilaku seksual penduduk Bali yang berisiko, maka pencegahan di hilir hanyalah utopia. Kasus-kasus infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Begitu pula dengan program PMTCT, jika tidak ada regulasi yang realistis maka program ini pun hanya pasif. Padahal, kalau ada regulasi yang mengharuskan permpuan hamil menjalani tes HIV, maka program itu akan jalan.
Biar pun fakta terkait dengan penyebaran HIV sudah ada di pelupuk maka, tapi penanggulangan hanya dilakukan dengan pijakan moral yang tidak membumi. ***[Syaiful W. Harahap]***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI