Kasus HIV/AIDS pada balita merunut ke status HIV orang tua mereka yaitu ibu dan ayah. Tapi, biar pun HIV/AIDS sudah terdeteksi pada balita tetap tidak ada upaya yang konkret untuk memutus mata rantai penularan HIV secara horizontal dari-ibu-ke-bayi.
Lihat saja di Kab Sikka, Flores, NTT, ini. Di sana dikabarkan ada lima balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (Lima Balita di Sikka Idap HIV/AIDS, metrotvnews.com, 4/2-2012).
Lima balita itu merupakan bagian dari 360 penduduk Sikka yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Bahkan, dikabarkan ada lagi seorang ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Lince Holsen, dokter klinik HIV/AIDS VCT Tc Hillers Maumere, mengatakan bahwa dari 360 pengidap HIV/AIDS tersebut 226 adalah pria. Data ini tentu saja kabar buruk bagi Pemkab Sikka karena sebelum terdeteksi ada kemungkinan pria-pria itu sudah menularkan HIV kepada pasangannya, terutama istri.
Kalau saja Pemprov NTT menanggulangi penyebaran HIV dengan pijakan fakta medis, maka langkah yang ditempuh adalah cara-cara penanggulangan yang konkret. Tapi, seperti dalam Perda No 3 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak ada langkah-langkah yang konkret (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/05/pencegahan-normatif-dalam-perda-aids-ntt/).
Karena data menunjukkan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada laki-laki, maka perlu ada regulasi untuk survailans tes HIV rutin terhadap perempuan hamil. Jika ada perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka dilakukan konseling pasangan agar suami mau menjalani tes HIV.
Program selanjutnya adalah menjalankan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya melalui pemberian obat antiretroviral (ARV), persalinan dengan operasi Caesar, dan tidak menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Pertanyaannya adalah: Dari mana pria-pria di Sikka tertular HIV?
Jika di Sikka tidak ada (praktek) pelacuran, maka pria-pria di Sikka tertular HIV di luar Sikka. Pemkab Sikka perlu membuat regulasi yang mengharuskan pria-pria Sikka memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Tapi, kalau di Sikka ada (praktek) pelacuran, maka Pemkab bisa membuat regulasi dengan melokalisir pelacuran dan menerapkan program keharusan memakai kondom bagi pria-pria Sikka jika sanggama dengan PSK.
Tanpa langkah-langkah yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Sikka akan menjadi bumerang bagi Pemkab Sikka karena kelak akan terjadi ‘ledakan AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H