Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

116 Balita di Papua Mengidap HIV/AIDS

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13293939161871209982

* Dinkes Prov Papua tidak punya program konkret mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat

Ketika ada bayi atau balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS persoalan tidak menukik ke realitas sosial terkait dengan kasus tersebut. Berita di media massa yang bersumber dari berbagai kalangan mengesankan kesalahan ada pada ibu anak-anak yang terdeteksi HIV itu.

Lihat saja berita ”116 Anak Balita Papua Terinveksi HIV/AIDS” (kompas.com, 14/2-2012). Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Yosef Rinta, mengatakan: "Kebijakan pemberian ARV (obat anti retroviral, yaitu obat yang menekan laju penggandaan HIV di dalam darah-pen.) sudah jadi kebijakan nasional, dan di Papua siapa pun orang yang terinfeksi akan diberi ARV karena itu bagian dari pencegahan penyebaran HIV/AIDS."

Agaknya, Yosef lupa kalau selama ini kebanyakan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi bukan karena kesadaran mereka melakukan tes HIV, tapi karena mereka sakit atau hasil penjangkuan institusi, seperti LSM.

Maka, yang perlu dijelaskan oleh Yosef adalah upaya atau langkah-langkah konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Soalnya, dari estimasi kasus HIV/AIDS di Papua yang mencapai 24.355 (prevalensi 2,4) baru terdeteksi 10.725 atau 44,04 persen. Dari jumlah yang terdeteksi itu ada 116 balita.

HIV/AIDS pada balita itu menunjukkan perilaku (seksual) ayah mereka yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) atau perempuan pelaku kawin cerai.

Kalau pun Pemprov Papua, dalam hal ini Dinkes Prov Papua, mempunyai langkah konkret mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat itu adalah mendapatkan kasus yang sudah ada (hilir). Artinya, insiden penularan HIV baru (hulu) terus terjadi.

Celakanya, Dinkes Prov Papua juga tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hububungan seksual dengan PSK di lokalisasi atau di luar lokalisasi. Pemprov Papua sendiri tidak mengakui kegiatan pelacuran secara eksplisit karena dalam Perda AIDS Papua tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran tapi ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan HIV’. Ini adalah bentuk kemunafikan dan penyangkalan yang berujung pada bencana yaitu penyebaran HIV.

Perda AIDS Prov Papua pun sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Perda itu justru mengumbar kekuasaan yang bermuara pada perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), yaitu memulangkan PSK yang terdeteksi HIV (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).

Padahal, bisa saja PSK itu tertular HIV dari laki-laki dewasa penduduk lokal. Biar pun PSK yang terdeteksi HIV dipulangkan, tanpa disadari oleh Pemprov Papua laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di Prov Papua secara horizontal terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah (Lihat Gambar 1).

Gambar 1

Maka, amat wajar kalau kemudian banyak bayi dan balita yang terdeteksi HIV/AIDS karena ibu yang melahirkan bayi-bayi itu tidak menyadari sudah tertular HIV dari suami mereka.

Kalau saja Perda AIDS Papua dirancang dengan pijakan fakta (medis) terkait HIV/AIDS tentulah ada pasal-pasal yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Tapi, karena perda itu dirancang dengan semangat moral, maka pasal-pasal yang ada pun normatif bahkan mengabaikan fakta terkait HIV/AIDS.

Ketika dunia sudah membuktikan penggunaan kondom pada hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru di Papua justru diabaikan. Yang dianjurkan justru sunat pada laki-laki. Padahal, sunat hanya menuruntkan risiko bukan mencegah karena yang terlindungi dengan sunat hanya kepala penis. Sedangkan batang penis tetap berisiko menjadi pintu masuk HIV (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/03/20/aids-di-papua-sunat-bisa-menjerumuskan-karena-dianggap-kondom-alam/).

Saat ini setidaknya pengguna ARV sebanyak lebih kurang 2.000 orang atau sekitar 20 persen dari jumlah kasus HIV/AIDS. "Di Papua semua tersedia, tinggal bagaimana masyarakat mengakses," kata Yosef.

Persoalannya adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Maka, diperlukan mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV di masyarakat. Sayang, Perda AIDS Papua pun tidak memberikan cara yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada penduduk.

Karena penyebaran HIV terjadi dan insiden infeksi HIV baru pun terjadi pula, maka diperlukan cara-cara yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS di Papua (Lihat Gambar 2).

1329393982134835630

Gambar 2

Langkah, berupa intervensi, yang bisa dilakukan Pemprov Papua untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalah program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki jika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Langkah berikutnya adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom ketika sanggama dengan istrinya bagi laki-laki (suami) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Langkah terakhir adalah menjalankan program survailans HIV/AIDS melalui tes HIV pada perempuan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline