"Kesadaran kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi tertular HIV/AIDS di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, untuk periksa kesehatan masih rendah.” Ini pernyataan Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Abdul Azis Achyar (Dinkes: Kesadaran Kelompok Risiko HIV/AIDS Masih Rendah, www.antarasumut.com, 1/2-2012).
Pernyataan itu dalam bentu kutipan langsung (kuotasi). Terkait dengan risiko penularan HIV pada ’ masyarakat yang memiliki risiko tinggi tertular HIV/AIDS’ bukan periksa kesehatan, tapi melakukan tes HIV secara sukarela.
Disebutkan ” .... kelompok risiko tinggi agar bersedia memeriksakan kesehatannya secara berkala, seperti para waria, pekerja seks komersial, dan pekerja kasar di perantauan.....”
Risiko tertular HIV bukanmilik kelompok, tapi orang per orang. Tidak semua waria dan pekerja seks komersial (PSK) perilakunya berisiko tinggi karena ada di antara mereka yang hanya mau meladeni pelanggan jika pelanggan memakai kondom.
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Kudus dari tahun 2009 sampai 2011 mencapai 69 dengan 28 kematian.
Disebutkan juga bahwa kelompok risiko tinggi adalah ’pekerja kasar di perantauan’. Ini adalah stigma (cap buruk) terhadap pekerja migram.
Apakah hanya pekerja migran di sektor informal saja yang berisiko tertular HIV di peratauan atau luar negeri?
Apakah diplomat, pejabat, pedagang, pelancong, wartawan, dll. yang pergi ke luar daerah atau luar negeri tidak akan pernah melakukan perilaku berisiko?
Lagi pula HIV/AIDS pada PSK dan waria justru ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, sopir, petani, perampok, dll.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK merupakan mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Kudus. Begitu pula dengan laki-laki yang tertular HIV dari PSK atau waria juga akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Kudus.
Fakta itulah yang sering luput dari perhatian sehingga yang menjadi ’sasaran tembak’ yang empuk hanya waria dan PSK. Biar pun semua PSK dan waria yang terdeteksi HIV/AIDS ’dikurung’, penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kudus karena laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan waria serta laki-laki yang tertular HIV dari PSK dan waria akan terus menularkan HIV tanpa mereka sadari.
Disebutkan ” .... Untuk itu, masyarakat perlu memeriksakan kesehatannya ketika menemukan gejala yang mengarah terserang HIV/AIDS.”
Tidak ada gejala yang khas HIV/AIDS. Maka, yang perlu diperhatikan bukan gejala penyakit, tapi perilaku. Artinya, tanpa ada penyakit pun jika perilaku seseorang berisko tertular HIV maka diharapkan ybs. segara menjalani tes HIV secara sukarela. Tes HIV perlu karena kalau ada satu orang yang terdeteksi positif maka satu mata rantai penyebaran HIV diputus.
Dalam berita disebutkan: ”Dari sejumlah kasus HIV/AIDS di Kudus, penularannya diduga kuat berasal dari luar daerah yang dibawa oleh warga Kudus yang bekerja di luar daerah, ....” Ini merupakan bentuk penyangkalan yang justru mendorong penyebaran HIV.
Apakah Kadis Kesehatan Kudus bisa menjamin di Kab Kudus tidak ada (praktek) pelacuran? Kalau jawabannya YA, maka sinyalemen itu benar. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka bisa saja penyebaran terjadi antar penduduk di wilayah Kab Kudus.
Disebutkan pula oleh Kadis Kesehatan: “Masyarakat yang diketahui positif tertular juga harus jujur agar tidak terjadi penularan kepada orang lain.”
Jika tes HIV dilakukan sesuai dengan standar yang baku, maka orang-orang yang terdeteksi HIV akan menghentikan penularan mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka. Untuk itulah diperlukan cara yang konkret untuk mendeteksi HIV di masyarakat.
Ini bukti lain yang menunjukkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS tidak bisa diandalkan karena tidak menyentuh akar persolan. Prov Jawa Tengah sudah menelurkan Perda AIDS (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/13/perda-aids-prov-jawa-tengah-mengabaikan-risiko-penularan-hiv-di-lokasi-pelacuran/).
Yang perlu dilakukan Pemkab Kudus adalah menyampaikan informasi HIV/AIDS yang akurat agar masyarakat bisa mengetahi apakah perilakunya berisiko tertular HIV atau tidak.
Jika informasi HIV/AIDS yang disampaikan ke masyarakat tidak akurat, maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Maka, penyebaran HIV pun akan terus terjadi dan Pemkab Kudus tinggal menunggu waktu untuk ’panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H