Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Penanggulangan HIV/AIDS di Kab Jayapura, Papua, Tidak Konkret

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Merebaknya kasus HIV-AIDS yang saat ini tidak hanya menular yang berperilaku buruk, tapi juga kalangan Ibu Rumah Tangga (IRT) dan balitanya, mendapat perhatian serius dari Ketua KomisiC DPRD Kabupaten Jayapura yang membidangi masalah kesehatan dan pendidikan.” (Dinkes dan KPA Diminta Lebih Serius Tangani HIV-AIDS, Harian ”Cenderawasih Pos”, 26/1-2012).

Ada beberapa hal yang tidak akurat pada pernyataan di lead berita tsb.

Pertama, ’berperilaku buruk’ yang dikaitkan dengan penularan HIV/AIDS adalah jargon moral karena penularan HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaiannya secara langsung dengan ’perilaku buruk’. Laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) adalah perilaku berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV.

Kedua, dalam pernyataan di atas tidak digambarkan penularan HIV kepada ibu rumah tangga. Padahal, penularan HIV kepada ibu rumah tangga dilakukan oleh laki-laki, yaitu laki-laki yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV.

Dikabarkan Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Jayapura, Frangklyn Wahey, S Sos, berharap agar Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jayapura lebih serius dalam menangani masalah ini.

Persoalannya adalah: Apakah DPRD Kab Jayapura sudah menelurkan perangkat hukum, seperti Perda, yang membeikan cara-cara penanggulangan yang konkret?

Tentu saja tidak ada. Buktinya, dalam Perda AIDS Kab Jayapura sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret (Lihat).

Selain itu program ’wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran ’turki’ yaitu di Tanjung Elmo di bibir Dana Sentani juga tidak efektif. Ini terjadi karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’.

Program ’wajib kondom 100 persen’ merupakan program contekan dari Thailand. Bedanya, di Indonesia program tsb. diadopsi dengan setengah hati sehingga tidak efektif karena al. (a) di Indonesia tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan hasil regulasi, dan (b) di Indonesia germo tidak memegang izin usaha.

Dua hal itulah yang membuat program ’wajib kondom 100 persen’ tidak jalan di Indonesia, termasuk di lokalisasi pelacuran Tanjung Elmo. Thailand memberikan sanksi kepada germo kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap infeksi menular seksual (IMS), seperti sifilis, GO, dll. Inilah cara yang efektif untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki ’hidung belang’ (Lihat).

Celakanya, di Indonesia justru PSK yang diberikan sanksi. Seperti yang terjadi di Merauke, Papua, beberapa PSK sudah masuk bui karena terdeteksi mengidap IMS. Tapi, tunggu dulu. Laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK tetap menjadi mata rantai penyebaran IMS, bahkan sekaligus HIV kalau laki-laki itu juga mengidap HIV/AIDS.

Ini pernyataan Frangklyn: “Kami pikir sudah banyak bantuan anggaran yang diberikan oleh pemerintah untuk masalah kesehatan ini, tetapi kalau kita lihat kenyataan di lapangan dimana masalah kesehatan ini belum sepenuhnya dijalankan dengan baik,seperti yang sekarang kita temukan banyak bayi dan ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS.

Biar pun banyak dana atau bantuan, tapi kalau programnya tidak komprehensif karena tidak menyentuh akar persoalan tentulah hasilnya nol besar.

Disebutkan pula: ” .... pihaknya berharap agar Dinas Kesehatan dan KPA lebih sering untuk turun memberikan sosialisasi tentang HIV-AIDS kepada masyarakat di kampung-kampung.”

Persoalannya adalah: Apakah materi sosialisasi bermuatan fakta atau moral?

Jika sosialisasi hanya dengan informasi HIV/AIDS yang dibumbui dengan moral, maka yang diberikan kepada masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Cara-cara pencegahan HIV, terutama malalui hubungan seksual, yang dibalut dengan moral tidak akan memberikan cara yang konkret.

Masih menurut Frangklyn: “Kalau kita lihat ,ini semua memang akibat dari perbuatan seorang suami yang sering “jajan” atau berhubungan seks bebas di luar rumah dan akibat perbuatan tersebut berdampak pada istri dan anak-anaknya.”

Pernyataan ini jelas dibalut dengan moral karena risiko tertular HIV melalui hubungan seksual bukan karena SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (’jajan’, ’seks bebas’, dll.), tapi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV/AIDS, laki-laki tidak memakai kondom).

Selama sosialisasi HIV/AIDS bermuatan moral, maka selama itu pula masyarakat tidak mengetahui cara-cara pencegahan HIV melalui hubungan seksual yang konkret. Maka, Pemkab Jayapura tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline