Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Perda AIDS Kab Mimika, Papua, Tidak Menawarkan Cara Pencegahan yang Konkret

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kabupaten Mimika, Papua, tercatat sebagai daerah yang memiliki pengidap HIV/AIDS terbanyak di Papua. Penderita HIV/AIDS di kabupaten tersebut mencapai 2.180 orang” (metronews.com. 6/1-2012). Padahal, Pemkab Mimika sudah menelurkan peraturan daerah (Perda) No 11 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika yang disahkan tanggal 27 November 2007.

Memang, yang dipersoalkan bukan jumlah kasus karena ada beberapa faktor yang membuat kasus banyak terdeteksi. Misalnya, fasilitas tes HIV dan penjangkuan ke populasi, terutama populasi yang terkait dengan perilaku berisiko tertular HIV. Yang ’digugat’ adalah peranan perda AIDS itu dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS.

Perda AIDS Mimika itu merupakan produk hukum ke-26 dari 55 perda, keputusan gubernur dan peraturan walikota tentang penanggulangan HIV/AIDS yang sudah ada di Indonesia.

Celakanya, semua perda itu hanya copy-paste sehingga tidak ada hal-hal baru yang ditonjolkan yang erat kaitannya dengan penanggulangan HIV/AIDS di tataran realitas sosial. Perda-perda itu tidak ’membumi’ karena tidak menyentuh akar persoalan.

Lihat saja bunyi pasal 2 di Perda AIDS Mimika ini: ”Obyek  Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS difokuskan pada semua tempat yang berpotensi terjadi penularan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika.”

Penularan HIV, khususnya melalui hubungan seksual, tidak ada kaitannya secara langsung dengan tempat tapi perilaku seksual orang per orang.

Di pasal 3 disebutkan: ”Subyek Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS adalah seluruh masyarakat terutama kelompok mesyarakat yang rentan berperilaku resiko tinggi untuk penularan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika.”

Pasal ini menyamaratakan perilaku semua orang di Mimika. Padahal, tidak semua orang penduduk Kab Mimika berperilaku seksual yang berisiko tertular HIV.

Perilaku seksual yang berisiko tertular HIV adalah:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.

(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.

Karena subjek dan objek yang disasar perda ini tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV, maka sudah bisa dipastikan hasil perda ini nol besar. Insiden penularan HIV baru, terutama di kalangan laki-laki dewasa, akan terus terjadi karena tidak ada intervensi yang konkret dalam perda itu terkait dengan pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual berisiko.

Simak saja pada bagian pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda ini. Di pasal 5 ayat 1 disebutkan: Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dapat dilakukan melalui cara: a. Tidak malakukan hubungan seksual secara menyimpang; b. Setia pada satu pasangan; c. Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS dan IMS.

Bunyi pasal 5 ayat 1 huruf a itu menunjukkan perda ini dibuat dengan pijakan moral dengan mengabaikan fakta. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, ’seks bebas’, ’seks menyimpang’, dll.). Maka, pasal 5 ayat 1 huruf a itu tidak membumi sehingga tidak menyentuh akar persoalan.

Pasal 5 ayat 1 huruf b juga tidak akurat karena banyak laki-laki ’hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika ’jajan’ ke pekerja seks komersial (PSK). Mereka merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual dengan satu PSK setiap mereka ’jajan’.

Itu terjadi karena informasi yang disebarluaskan selama ini tidak komprehensif. Seorang laki-laki berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.

Begitu pula dengan pasal 5 ayat 1 huruf c ”Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS dan IMS” tidak membumi.

Pertanyaannya adalah: Bagaimana cara yang akan dilakukan Pemkab Mimika untuk mengawai pemakaian kondom pada kontak seksual yang berisiko tertular HIV dan IMS?

Salah satu perilaku yang berisiko tertular HIV terkait dengan hubugan seksual adalah hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK. Kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual dengan PSK berhasil menekan laju infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand.

Caranya? Pemerintah Thailand melokalisir pelacuran sebagai bentuk dari regulasi bukan legalisasi dengan memberikan izin usaha bagi germo atau mucikari. Artinya, germo yang tidak mengantongi izin usaha tidak boleh menjalankan kegiatan pelacuran.

Di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir dijalankan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Secara rutin dilakukan survailans tes IMS (sifilis, GO, klamidia, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu membuktikan ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Pemerintah Thailand memberikan sanksi hukum kepada germo yang kedapatan mempunyai PSK yang mengidap IMS. Jika laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap HIV maka ada kemungkinan juga terjadi penularan HIV sekaligus.

Cara ini konkret sehingga berhasil. Berbeda dengan di Indonesia, seperti yang sudah dilakukan di Kab Merauke, Papua. Yang kena sanksi hukum adalah PSK. Satu PSK ditangkap dan dikurung di penjara puluhan PSK ’baru’ akan menggantikan posisi PSK tadi.

Selain itu laki-laki yang menularkan IMS atau HIV kepada PSK itu menjadi mata rantai penyebaran IMS da HIV di masyarakat. Inilah yang terjadi di Merauke.

Dalam perda itu di pasal 5 ayat 2 ada pula upaya penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) untuk: a. Meningkatkan perilaku sehat dan bertanggungjawab; b. Penggunaan kondom 100% bagi semua pekeja seks dan pelanggannya serta ODHA dan pasangannya.

Lagi-lagi perda ini mengumbar mitos (anggapan yang salah). Penularan HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya secara langsung dengan perilaku sehat dan bertanggung jawab. Pasal ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Ini mendorong stigma (cap buruk) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Sedangkan pasal 5 ayat 2 huruf b tidak akan jalan jika tidak diterapkan seperti yang dilakukan oleh Thailand. Memang, di pasal 8 ayat 1 dan 2 ada kewajiban memakai kondom, tapi tidak ada mekanisme pengawan yang konkret seperti di Thailand.

Penyebaran HIV akan terus terjadi di Kab Mimika karena perda yang ada hanya menjadikan PSK sebagai ’sasaran tembak’. Pasal 9 menyasar PSK, pengelola bar, dll. Pasal 10 menyasar Odha artinya orang yang sudah mengidap HIV, dan pasal 11 terhadap remaja. Pasal-pasal ini sama sekali tidak menyetuh laki-laki ’hidung belang’ sebagai mata rantai penyebaran HIV.

Untuk menanggulangi penyebaran HIV informasi yang perlu disampaikan ke masyarakat adalah cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret. Tapi, ini sama sekali tidak ada dalam perda. Maka, penyebaran HIV akan terus terjadi di Kab Mimika. Tinggal menunggu waktu saja karena kasus-kasus yang terjadi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline