Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

APBD Banten Siap-siap Disedot untuk Penanggulangan HIV/AIDS

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* KPA Prov Banten Menolak Dana Peningkatan Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS dari AusAID

Pemerintah Provinsi Banten, rupanya perlu menghilangkan ketergantungan bantuan dari dana asing. Khususnya untuk bidang kesehatan, pendidikan dan obat bagi penderita HIV/AIDS yang selama ini mendapatkan bantuan dari dana asing (Global Fund Tinggalkan Provinsi Banten Mulai 2013, Pos Kota, 9/1-2012).

Rupanya, penanggulangan HIV/AIDS di Prov Banten selama ini dijalankan dengan dana Global Fund. Celakanya, mulai 2013 Global Fund tidak lagi mau mendanai penangulangan HIV/AIDS di Indonesia. Tentu saja ini kabar buruk karena penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan dana yang besar dan tidak akan mungkin ditalangi sepenuhnya dari APBN dan APBD.

Salah satu mata anggaran yang akan menyedot dana APBN dan APBD adalah pembelian obat antiretroviral (ARV). Beberapa negara di dunia menyediakan obat ARV secara gratis kepada Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Harga paket obat ARV untuk satu bulan Rp 360.000. Biaya lain adalah pengobatan penyakit-penyakit yang muncul pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik.

Di Klinik VCT ‘Bougenvile’ RSU Tangerang, misalnya, ada 250 Odha yang menerima obat ARV secara rutin. Kalau tidak ada bantuan asing, maka Pemkab Tangerang harus mengalokasikan dana Rp 90 juta/bulan hanya untuk pembelian obat ARV. Angka ini akan bertambah seiring dengan penemuan kasus HIV/AIDS baru. Di Prov Banten ada enam klinik VCT dengan jumlah penerima ARV yang bervariasi.

Jika dana pembelian obat ARV diambil dari APBD Prov Banten, tentulah akan menimbulkan friksi horizontal karena ada kecemburuan dari pengidap penyakit lain yang harus membeli obat yang juga tidak murah. Jika ini terjadi, maka dana APBD Prov Banten akan habis disedot untuk pembelian obat-obatan semua penyakit (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/20/aids-di-prov-banten-akan-%E2%80%98menggerogoti%E2%80%99-apbd-kabupaten-dan-kota/).

Disebutkan: ” .... untuk menghilangkan ketergantungan dana asing tersebut, KPA merubah program kerja, yang dulu-nya penanggulangan HIV/AIDS menjadi pencegahan HIV/AIDS.”

Disebutkan bahwa program pencegahan HIV/AIDS adalah melakukan penyuluhan dan pengetahuan tentang bahaya dan penularan HIV/AIDS di lingkungan sekolah, buruh pabrik dan lokasi lainnya.

Fakta penyebaran HIV di Prov Banten saat ini justru terjadi melalui laki-laki dewasa, khusunya suami. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada balita menunjukan ibu mereka mengidap HIV/AIDS yang ditularkan oleh ayah mereka.

Celakanya, program kerja yang dimaksud KPA Banten yaitu pencegahan melalui penyuluhan di lingkungan sekolah tidak menyentuh akar persoalan yang berkecamuk saat ini. Soalnya, murid-murid sekolah membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melakukan hubungan seksual. Kalau pun seorang murid atau remaja tertularHIV maka dia bukan mata rantai penyebaran HIV.

Sebaliknya, seorang laki-laki dewasa sudah melakukan hubungan seksual, termasuk hubungan seksual yang berisiko tertular dan menularkan HIV yaitu yang dilakukan tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.

Seorang laki-laki dewasa yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bagi yang beristri maka dia akan menularkan HIV kepada istrinya, pasangan seks lain atau PSK.

Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga di Banten menunjukkan suami-suami mereka melakukan hubungan seksual yang berisiko.

Disebutkan pula: “Diharapkan dengan dilakukan program pencegahan, maka fenomena gunung es pada orang dengan HIV/AIDS dapat ditekan....”

Fenomena gunung es justru menggambarkan kasus yang sudah ada di masyarakat tapi tidak terdeteksi. Artinya, kasus yang terdeteksi (2.116) adalah bagian kecil dari kasus HIV/AIDS atau penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS yang ada di Banten.

Maka, yang perlu dilakukan adalah memecah gunung es itu. Artinya, meningkatkan upaya untuk mendeteksi kasus baru di masyarakat. Ini bukan program pencegahan, tapi penanggulangan yaitu meningkatkan penyuluhan agar setiap orang bisa menghitung-hitung perilakunya: berisiko atau tidak berisiko.

Bisa juga melalui program survailans rutin, khusus dan sentinel terhadap berbagai kalangan. Di Malaysia, misalnya, ada survailans rutin terhadap perempuan hamil sehingga pendeteksian kasus baru berjalan lancar. Dengan menemukan seorang perempuan mengidap HIV/AIDS berarti terdeteksi pula seorang laki-laki yang menularkan HIV kepada perempuan itu. Selain itu bisa pula diselamatkan seorang bayi dari risiko tertular HIV dari ibunya.

Selain itu perlu pula dilakukan adalah meningkatkan kesadaran penduduk, terutama laki-laki dewasa, agar tidak melakukan perilaku berisiko. Hal ini hanya bisa efektif dilakukan melalui media massa. Tentu saja tidak mungkin pegawai KPA Banten atau Dinas Kesehatan Banten berkeliling dari satu desa ke desa lain hanya untuk menyampaikan cara-cara pencegahan HIV.

Celakanya, KPA Prov Banten menolak dana peningkatan peran media massa dalam penanggulangan HIV/AIDS dari program HIV Cooperation Program for Indonesia (HCPI) melalui Kemitraan Australia-Indonesia (AusAID). Dana ini dipakai al. untuk melatih wartawan untuk menulis berita dan laporan tentang HIV/AIDS yang komprehensif dengan cara yang berkesinambungan, talk show di radio dan televisi secara berkala, dan penulisan advertorial di media cetak.

Thailand sebagai salah satu negera di dunia yang bisa menekan laju infeksi HIV baru, justru mengandalkan media massa untuk menyebarluaskan informasi. Dari lima program penanggulangan HIV/AIDS dengan skala nasional Thailand menempatkan media massa di urutan pertama.

Program media HCPI/AusAID yang sudah berjalan selama ini harus dilanjutkan agar media massa benar-benar menjadi ujung tombak penyebaran informasi HIV/AIDS yang akurat.

Melalui serangkaian orientasi singkat peningkatan peran wartawan Banten dalam penanggulangan HIV/AIDS di delapan kabupaten dan kota yang dilakukan oleh media relations officer (MRO) dengan dana HCPI/AusAID, menunjukkan wartawan mengharapkan pelatihan yang lebih komprehensif. Tidak hanya sekedar orientasi. Begitu pula dengan pempinan media cetak dan elektronik lokal di Banten berharap ada kerja sama yang berkesinambungan dalam penyebarluasan informasi HIV/AIDS.

Jika KPA Prov Banten menolak dana media dari HCPI/AusAID, sejalan dengan jiwa reformasi dengan otonomi daerah, tentulah KPA di tingkat kota dan kabupaten bisa mengajukan proposal untuk mendapatkan dana media dari HCPI/AusAID. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline