Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Perda AIDS Prov Sumatera Selatan Menanggulangi AIDS di Awang-awang

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi daerah yang ke-55 yang menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang penanggulangan AIDS. Melalui Perda No 15 Tahun 2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pemrov Sumsel menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.

Apakah perda itu menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?

TIDAK!

Sama seperti perda-perda lain semua hanya menawarkan penanggulangan di awang-awang dengan ‘bahasa dewa’ yang sarat moral.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Sumsel dilaporkan 1.057 yang terdiri atas 672 HIV dan 385 dengan 98 kematian. Tapi, perlu dingat bahwa angka ini semu karena tidak menggambarkan kasus yang sebearnya di masyarakat.

Selain itu Perda AIDS Sumsel ini pun mengabaikan Perda AIDS Kota Palembang No 16 Tahun 2007. Kalau saja Pemprov Sumsel berkaca ke Perda Kota Palembang itu tentulah perda yang dihasilkan tidak sama jeleknya, bahkan lebih jelek (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/21/menyoal-kiprah-perda-aids-palembang/).

Salah satu faktor risiko (mode of transmission) penularan HIV adalah melalui hubungan seksual terutama pada hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti dan dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria.

PSK yang dimaksud ada dua kategori yaitu: (1) PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan (2) PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).

Kegiatan hubungan seksual yang berisiko yang melibatkan PSK langsung terjadi di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tapi, dalam perda dikesankan di Sumsel tidak ada tempat atau lokasi yang memungkin terjadi hubungan seksual dengan PSK. Ini merupakan penyangkalan terkait dengan kegiatan pelacuran di Sumsel.

Hal yang sama juga terjadi terhadap PSK tidak langsung. Apakah di Sumsel tidak ada PSK tidak langsung?

Hanya penyangkalan dan kemunafikan yang mengatakan bahwa di Sumsel tidak ada praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung.

Tidak ada penjelasan tentang PSK langsung dan PSK tidak lansung dalam perda ini. Yang ada adalah peyebutan ’populasi berperilaku resiko tinggi’, seperti yang ada di pasal 1 ayat 11: Populasi Berperilaku Resiko Tinggi adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu pekerja seks komersial, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik, pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria, narapidana, dan anak jalana.

Perilaku yang berisiko tertular dan menularkan HIV bukan ada pada populasi atau kelompok, tapi orang per orang. Seorang PSK sekalipun bisa tidak berisiko kalau dia hanya meladeni laki-laki yang memakai kondom dan dengan pacar atau suaminya pun dia selalu memakai kondom.

Laki-laki ‘hidung belang’ yang sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung berisiko tinggi tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika sanggama.

Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom. Bahkan, kata kondom pun tidak ada dalam perda ini.

Di pasal 1 ayat 29 disebutkan: Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang pada alat kelamin laki-laki atau perempuan pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan kehamilan.

’Alat pencegah’ merupakan kata yang konotatif. Kata yang denotatif adalah kondom. Pengabaian kondom menunjukkan moralitas semu yang mengaburkan makna.

Tidak ada ’penyakit akibat hubungan seksual’. Yang ada adalah infeksi menular seksual (IMS), yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, jika laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.

Penanggulangan HIV/AIDS yang ’ditawarkan’ dalam perda ini pun hanya di hilir, yaitu melalui kegiatan konseling dan tes HIV, pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Artinya, Pemprov Sumsel menunggu penduduk tertular HIV dulu (hulu) baru ditangani (hilir).

Sangat masuk akal kalau Perda AIDS Sumsel ini tidak membumi karena cara-cara penularan yang disampaikan pun tidak komprhensif.

Lihat saja di pasal 6. Disebutkan: Penularan HIV dan AIDS dapat menular kepada orang lain dengan cara: (a) Hubungan seksual yang tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar kesehatan, dan (b) Alat suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang terkontaminasi HIV/AIDS dan IMS.

Cara penularan yang disebutkan perda ini jelas tidak konkret. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom ketika sanggama.

Apa yang dimaksud dnegan ’tidak terlindungi sesuai standar kesehatan’? Tidak jelas apa makna pernyataan itu. Kunci utama risikopenularan melalui hubungan seksual adalah salah satu harus mengidap HIV.

Tidak semua alat suntik yang tidak steril mengandung HIV, maka yang benar adalah: jarum suntik yang menyimpan darah yang mengandung HIV.

Amat masuk akal kalau pencegahan tidak komprehensif karena cara-cara penularan yang disampaikan dalam perda ini juga tidak akurat.

Lihat saja di bagian pencegahan. Pada pasal 9 ayat 1 huruf d disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara komprehensif, integratif, partisiaptif, dan berkelanjutan, yang meliputi ‘melaksanakan penanggulangan IMS secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku berisiko tinggi’.

Kegiatan yang ditawarkan ini tidak membumi. Tidak jelas apa yang dimaksud dnegan ’tempat-tempat perilaku berisiko tinggi’. Secara implisit perda ini mengakui ada lokasi atau lokalisasi praktek pelacuran baik yang melibatkan PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

Mobilitas PSK langsung dan PSK tidak langsung sangat tinggi sehingga penanggulangan IMS secara berkala tidak ada manfaatnya karena PSK silih berganti.

Selain itu perda ini mengabaikan laki-laki dewasa penduduk Sumsel yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung, serta laki-laki dewasa penduduk Sumsel yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK langsung atau PSK tidak langsung (Lihat Gambar 1).

Di masyarakat Sumsel laki-laki yang menularkan IMS dan HIV serta laki-laki yang tertular IMS dan HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Masih di pasal 9 ayat 1 huruf e disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara komprehensif, integratif, partisiaptif, dan berkelanjutan, yang meliputi ’mendorong dan melaksanakan tes dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi resiko tinggi’.

Ini benar-benar naif. Yang menularkan HIV kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung adalah laki-laki dewasa. Mereka inilah yang menyebarkan HIV, tapi luput dari perhatian sehingga tidak masuk dalam perda ini.

Kalau saja perda ini dirancang dengan nalar tentulah penanggulangan yang ditawarkan adalah pencegahan yang konkret.

Langkah yang perlu dilakukan Pemprov Sumsel adalah interventi terhadap (perilaku) laki-laki dewasa (Lihat Gambar 2).

Pertama, mewajibkan pemakaian kondom bagi laki-laki dewasa jika melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Sumsel, di luar Sumsel atau di luar negeri.

Kedua,jika langka pertama tidak bisa dilakukan maka langkah berikutnya dalah mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan istrinya kalau dia pernah melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Sumsel, di luar Sumsel atau di luar negeri.

Ketiga, kalau langkah kedua tidak bisa diberlakukan maka langkah berikutnya adalah anjuran bagi perempuan hamil untuk menjalani tes HIV. Cara ini akan menyelematkan bayi dari risiko tertular HIV dan memutus mata rantai penyebaran HIV melalui istri dan suami.

Sama seperti perda-perda lain karena sarat dengan moral maka yang dikedepankan pun tidak konkret. Lihat saja peran serta masyarakat yang diharapkan dalam penanggulangan HIV/AIDS juga normatif. Bahkan, mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV.

Pada pasal 19 huruf disebutkan: Pemerintah Provinsi memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) Meningkatkan ketahanan hidup keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.

Tidak ada kaitan langsung antara ’hidup sehat’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual justru bisa terjadi kalau dalam kondisi sehat. Risikopenularan terjadi karena salah satu mengidap HIV dan pasangan itu tidak memakai kondom ketika sanggama.

Penularan HIV pun tidak ada kaitannya secara langsung dengan ’ketahanan hidup keluarga’. Penularan HIV juga terjadi melalui upaya mempertahankan kehidupan keluarga, seperti melalui transfusi darah yang terkontaminasi HIV.

Padal 19 ayat a dan b ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV adalah orang yang perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Ini menghujat, mengihana, mengejek, mencaci dan menghina istri-istri yang tertular HIV dari suaminya dan anak-anak yang tertular HIV dari ibunya serta orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi darah, jarum suntik serta alat-alat kesehatan.

Bertolak dari penanggulagan semu dalam perda ini, maka penyebaran HIV di Sumsel akan terus terjadi. Pemprov Sumsel tinggal menunggu waktu untuk ’panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS yang ada akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline