Dikabarkan Wali Kota Jayapura, Drs. Benhur Tommy Mano, MM, meminta agar Peraturan Daerah (Perda) Kota Jayapura tentang penanggulangan HIV-AIDS direvisi. Pasalnya, Perda tersebut menurutnya sudah tidak efektif lagi dalam melakukan penanganan HIV-AIDS di Kota Jayapura (Perda Penanganan HIV-AIDS Harus Direvisi, www.cenderawasihpos.com, 9/11-2011).
Perda AIDS Kota Jayapura sendiri mengandung ironi terkait dengan penanggulangan AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/23/ironi-penanggulangan-aids-di-perda-aids-kota-jayapura-papua/).
Hal yang sama terjadi pada perda-perda AIDS yang ada di Prov Papua, termasuk Perda AIDS Prov Papua yang baru disetujui Desember 2010 (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).
Sebelumnya Kadinkes Kota Jayapura pun dikabarkan sudah mewacanakan pembuatan perda, padahal sudah ada perda (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/10/dinkes-kota-jayapura-papua-wacanakan-perda-penanggulangan-aids-baru/)
Biar pun informasi HIV/AIDS yang komprehensif sudah banjir, tapi Wali Kota Jayapura tetap tidak melihat fakta empiris terkait dengan penyebaran HIV. Buktinya: “ …. Wali Kota juga meminta supaya tempat hiburan malam yang tidak taat pada aturan terkait penanggulangan HIV-AIDS, diberi tindakan tegas.”
Apakah risiko penularan HIV hanya terjadi di tempat hiburan malam? Tentu saja tidak!
Yang menjadi persoalan utama adalah perilaku laki-laki dewasa penduduk Kota Jayapura terkait dengan risiko tertular HIV. Artinya, di mana saja dan kapan saja penduduk Kota Jayapura bisa tertular HIV, yaitu:
(a). Laki-laki atau perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti di wilayah Kota Jayapura dan di luar Kota Jayapura.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek pemijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG;, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kota Jayapura dan di luar Kota Jayapura.
Nah, langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah melakukan intervensi, al. melalui perda, terhadap perilaku (a) dan (b), yaitu mewajibkan laki-laki yang perilakunya berisiko memakai kondom setiap kali melakukan perilaku (a) dan (b), serta mewajibkan perempuan hanya boleh meladeni laki-laki dengan memakai kondom pada perilaku (a).
Sedangkan Wakil Wali Kota Jayapura, DR. H. Nuaralam, SE, MSi, yang juga Ketua Harian KPA Kota Jayapura, mengatakan: “Ada masukan lain dari pertemuan tadi bahwa setiap bulan harus dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja hiburan malam.”
Pernyataan Wakil Wali Kota itu pun menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terhadap epidemi HIV dari aspek medis.
Pertama, ada kemungkinan HIV yang kelak terdeteksi pada pekerja hiburan malam justru ditularkan oleh laki-laki dewasa lokal, asli atau pendatang. Selanjutnya ada pula laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang tertular HIV dari pekerja hiburan malam yang sudah tertular HIV. Nah, mereka itu yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja hiburan malam dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja hiburan malam akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua, hasil tes HIV yang akurat baru bisa terdeteksi dengan ELISA tiga bulan setelah tertular HIV. Jika seorang pekerja hiburan malam dites pada bulan pertama dan kedua setelah tertular maka hasilnya negatif palsu. Artinya, hasil tes nonreaktif tapi dalam darahnya sudah ada HIV. Pekerja ini tetap meladeni laki-laki karena hasil tes negatif, padahal ybs. sudah bisa menularkan HIV.
Untuk itulah diperlukan perda dalam bentuk intervensi pada kemungkinan pertama yaitu mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan pekerja hiburan malam.
Persoalan besar yang terjadi di Indonesia adalah cara pemantauan yang tidak bisa akurat karena tidak ada lokalisasi pelecuran sebagai regulasi yang menjadi objek hukum.
Pernyataan dalam berita ini saja sudah menunjukkan kemunafikan yaitu melakukan eufemisme terhadap pekerja seks komersial (PSK) dengan istilah pekerja hiburan malam. Eufemisme juga menjadi bagian riil pada Perda AIDS Prov Papua.
Selama perda penanggulangan AIDS tidak konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV tidak bisa dikendalikan. Hasilnya? Ya, ‘panen AIDS’ karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H