Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

‘Gentayangan’, Penderita HIV/AIDS di Sulawesi Utara (Sulut)

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribuan Warga Sulut Terkena HIV/AIDS. Banyak Penderita yang Diduga Gentayangan.” Ini judul berita di manadopost.co.id (28/10-2011).

Pemakaian kata gentayangan terkait dengan epidemi HIV tidak tepat karena yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV).

Yang terjadi adalah penularan, al. secara horizontal di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, tanpa disadari oleh orang-orang yang sudah mengidap HIV.

Disebutkan “Penyebaran HIV/AIDS di Sulut sudah sangat mengkhawatirkan. …. satu semester terakhir, setiap bulan RS Prof Kandou rata-rata menerima dan merawat 16 pasien baru penderita HIV/AIDS.”

Kekhawatiran itu memang beralasan karena 16 kasus baru itu yang terdeteksi. Artinya, pasangan seks dari 16 yang terdeteksi HIV itu berisiko juga tertular HIV. Artinya, minimal ada 16 kasus lagi yang tidak terdeteksi.

Kekhawatiran kian besar jika Pemprov Sulut tidak bisa menjamin semua laki-laki dan perempuan dewasa penduduk Sulut, asli atau pendatang, tidak (akan) pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Perilaku berisiko tertular HIV adalah:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Prov Sulut atau di luar Prov Sulut.

(b)Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Prov Sulut atau di luar Prov Sulut.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Prov Sulut atau di luar Prov Sulut.

Dikabarkankasus baru yang terdeteksi 79. Dengan tambahan ini maka kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulut mencapai 431. Data lain menyebutkan sudah 905 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Sulut.

Data lain di bulan Agustus terdeteksi sembilan kasus HIV/AIDS pada perempuan hamil. Data ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan lain, laki-laki atau perempuan atau dua-duanya, yang mengidap HIV. Maka, laki-laki dewasa di Sulut ada yang melakukan perilaku berisiko (a) dan (c) atau dua-duanya sekaligus.

Disebutkan pula ada sembilan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Angka pada anak-anak ini berarti sudah ada27 (9 anak + 9 ibu + 9 ayah) penduduk Sulut yang mengidap HIV.

Disebutkan: ” .... masih banyak warga Sulut beresiko yang belum memiliki kesadaran untuk memeriksakan diri.” Kondisi ini terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS tidak pernah disampaikan secara akurat kepada masyarakat.

Fakta terkait dengan perilaku berisiko (a), (b) dan (c) tidak pernah disampaikan. Yang disampaikan kepada masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), misalnya, mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ’jajan’, selingkuh, ’kumpul kebo’, hoseksual, dll. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara mitos dengan penularan HIV.

Dikabarkan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Sulut, Komisi Penanggulangan AIDS Prov Sulut menggiatkan penyebaran kondom di kabupaten dan kota.

Yang jadi persoalan adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom bagi laki-laki dewasa pada hubungan seksual yang berisiko, yaitu perilaku (a), (b) dan (c).

Kalau saja Pemprov Sulut, dalam hal ini KPA Prov Sulut, mau melirik Thailand tentulah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual bisa ditekan. Thailand menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual pada pelacuran di berbagai tempat.

Secara rutin PSK dites IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, virus hepatitis B, dll.). Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS, maka itu membuktikan dia meladeni laki-laki tanpa kondom. Germo atau mucikari akan menerima sanksi, mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.

Sayang, peraturan darah (perda) penanggulangan AIDS Prov Sulut tidak memberikan cara-cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/24/menguji-peran-perda-hivaids-prov-sulawesi-utara/).

Satu hal yang luput dari perhatian KPA Sulut adalah potensi penyebaran HIV melalui PSK tidak langsung. Di Sulawesi Selatan dan Bali dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/ dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).

Jika Pemprov Sulut, dalam hal ini KPA Sulut, tetap tidak melakukan cara-cara penanggulangan yang konkret, maka ’ledakan AIDS’ akan terjadi di Sulut. ***[Syaiful W. Harahap]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline