Banyak kalangan, termasuk wartawan, sering menepuk dada jika hasil survailans tes HIV terhadap pekerja seks komersial (PSK)di daerah mereka menunjukkan hasil negatif. Tanpa disadari berita tentang hasil survailans tes HIV bisa menjadi ‘iklan’ bagi laki-laki ‘hidung belang’.
Padahal, hasil tes melalui survailans tes HIV tidak akurat. Tes dengan rapid test atau ELISA bisa menghasilkan negatif palsu atau positif palsu.
Negatif palsu artinya hasil tes nonreaktif karena antibody HIV di dalam darah belum ada (antibody HIV pada darah orang yang tertular HIV baru bisa terdeteksi minimal tiga bulan setelah tertular HIV). Positif palsu artinya hasil tes reaktif, tapi bisa jadi itu terjadi karena ada penyakit lain pada pemilik darah yang dites.
Negatif dan positif palsu bisa terjadi jika darah yang diambil berada pada masa jendela. Maka, pada konseling perlu ditanya: Kapan Anda melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK?
Kalau jawabannya di bawah tiga bulan, maka hasil tes bisa positif atau negatif palsu. Nah, kalau yang terjadi negatif palsu, seperti yang dilakukan Dinkes Kab Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel) terhadap 46 penjaga dan pengunjung warung di sana, maka risiko besar mengintasi laki-laki ‘hidung belang’ di sana (Penjaga Warung Negatif HIV, Tribun Kalteng, 4/8-2011).
Disebutkan oleh Kabid P2PL Dinas Kesehatan Kab Balangan, Kalsel, Alhmad Nasai, hasil tes terhadap 46 penjaga dan pengunjung warung semuanya negatif. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan reagent yang dipakai dalam tes dimaksud.
Menurut Nasai, pengambilan darah ini untuk mengantisipasi masuknya penularan HIV di Bumi Sanggam. Ada fakta yang luput dari pernyataan Nasai ini, yaitu bisa saja terjadi penduduk lokal tertular HIV di luar daerah. Biar pun tes terhadap penjaga warung negatif itu tidak berarti penyebaran HIV di daerah itu tidak ada.
Soalnya, apakah ada jaminan tidak ada laki-laki dewasa penduduk lokal yang melakukan perilaku berisiko di luar daerah?
Kalau jawabannya TIDAK, maka ada risiko penyebaran HIV melalui laki-laki dewasa lokal yang tertular HIV di luar daerah.
Disebutkan pula: “Pemeriksaan ini rencanannya akan rutin dilakukan setiap tiga bulan sekali dengan sasaran berbeda beda.”
Tapi, selama rentang waktu ini antara satu tes dengan tes lain selama tiga bulan tentulah sudah terjadi penularan HIV dari laki-laki lokal ke penjaga warung dan sebaliknya.
Dikabarkan: “ …. awal 2010 lalu petugas menemukan satu warga pendatang yang berprofesi sebagai penjaga warung kedapatan mengidap HIV.”
Bisa saja terjadi HIV pada penjaga warung ditularkan oleh laki-laki dewasa lokal. Selanjutnya ada pula laki-laki dewasa lokal yang tertular HIV dari penjaga warung jika laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama dengan penjaga warung atau PSK.
Melakukan survailans tes HIV kepada penjaga warung tidak ada manfaatnya karena mereka berganti-ganti. Lagi pula biar pun sekarang penjaga warung tidak ada yang terdeteksi mengidap HIV itu tidak berarti penjaga warung tsb. akan ‘bebas HIV/AIDS’ selamanya. Bisa saja setelah tes mereka tertutular HIV melalui perilaku berisiko dengan laki-laki tamu mereka.
Agaknya, penjaga warung menjadi ‘sasaran tembak’ yang empuk di Kab Balangan (Lihat).
Maka, yang lebih baik adalah mewajibkan laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan penjaga warung atau PSK di mana saja dan kapan saja. Ini jauh lebih realistis dalam penanggulangan HIV/AIDS daripada melakukan tes secara rutin terhadap penjaga warung. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H