Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

AIDS di Kab Jembrana, Bali: ‘Cewek Kafe’ sebagai ‘Kambing Hitam’

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabid P3PKL Dinas Kesehatan dan Kesos Pemkab Jembrana, Bali, dr. Putu Suekantara, mengatakan : ” .... terbukti dari keterangan sejumlah penderita yang setelah ditelusuri rata-rata mereka mengaku pernah berhubungan seksual dengan cewek kafe. Bermula dari itulah mereka selanjutnya sering sakit-sakitan dan mereka baru mengetahui positif mengidap HIV/AIDS setelah dites di VCT.”(Di Jembrana Cewek Kafe, Penular Terbesar HIV/AIDS, Bali Post, 25/7-2011).

Ada pertanyaan yang sangat mendasar dari pernyataan tsb., yaitu:

1. Berapa jangka waktu antara hubungan seksual dengan ’cewek kafe’ sampai sering sakit-sakitan?

2. Apakah ada jaminan mereka tidak melakukan hal yang sama (hubungan seksual tidak pakai kondom) dengan perempuan yang bukan ’cewek kafe’?

3. Apakah ada jaminan mereka tidak melakukan hubungan seskual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di Jembrana atau di luar Jembrana?

Kalau penyakit yang mereka derita itu terkait dengan HIV/AIDS, maka secara statistik baru mulai muncul antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Nah, dalam pernyataan itu tidak ada informasi tentang hubungan seksual pertama dan terakhir yang mereka lakukan tanpa kondom dengan ’cewek kafe’.

Pertanyaan lain adalah: Apakah ’cewek-cewek kafe’ itu dites sebelum ‘bekerja’ di kafe-kafe di Jembrana?

Kalau jawabannya YA, maka ada kemungkinan mereka sudah mengidap HIV ketika mulai ‘bekerja’ di kafe-kafe di Jembrana. Maka, laki-laki dewasa lokal dan pendatang yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan ’cewek kafe’ berisiko tertular HIV.

Kalau jawabannya TIDAK, maka ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada ’cewek kafe’ justru laki-laki dewasa penduduk lokal, asli atau pendatang. Ini menunjukkan di masyarakat sudah ada laki-laki yang mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom.

Lagi pula, apakah di kafe-kafe itu ada fasilitas, seperti kamar, untuk melakukan hubungan seksual?

Kalau jawabannya TIDAK ADA, maka bisa saja laki-laki yang ditanya itu melakukan hubungan dengan cewek atau perempuan lain yang bukan ’cewek kafe’.

Nah, kalau jawabannya ADA, maka ini pintu masuk bagi Pemkab Jembrana untuk menggencarkan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan ’cewek kafe’.

Di Kab Jembrana pun tidak ada regulasi yang mengatur lokalisasi PSK. Yang ada adalah Perda Kab Jembarana No 9/2006 tentang Pencegahan dan Pemberantasa Pelacuran di Kab Jembrana. Pada pasal 1 ayat 2 disebutkan: “Setiap orang yang menyediakan tempat dan atau jasa pelacuran di daerah Kabupaten Jembarana diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah).”

Celakanya, Perda AIDS Kab Jembarana tidak mengakomodir upaya penanggulangan melalui hubungan seksual dengan PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/13/menyibak-sepak-terjang-perda-aids-kabupaten-jembrana-bali/).

Karena laporan menunjukkan dari tahun ke tahun jumlah penduduk Jembrana yang mengidap virus HIV/AIDS terus bertambah, anggota DPRD Jembrana, Nyoman S. Kusumayasa, mengatakan: ” .... hal ini harus disikapi serius.” Dikabarkan di Kab Jembarana kasus kumulatif HIV/AIDS dilaporkan 329.

Sayang, Nyoman tidak membeberkan langkah konkret sebagai tanggapan yang serius terhadap penyebaran HIV yang akan dijalankan untuk mengatasi penyebaran HIV di Jembrana.

Ada wacana untuk mengetes ‘cewek kafe’. Ini pun tidak ada manfaatnya karena sebelum dites ’cewek kafe’ yang mengidap HIV, baik yang ’dibawa dari luar’ maupun yang ditularkan laki-laki lokal, sudah menularkan HIV kepada laki-laki ’hidung belang’ yang tidak memakai kondom ketika sanggama degan ’cewek kafe’.

Kalau saja Pemkab Jembrana memakai akal sehat tentulah yang ditingkatkan pemahaman penduduk terkait dengan cara-cara pencegahan yang konkret bukan menyalahkan ‘cewek kafe’. Tapi, karena kaca mata yang dipakai moral maka yang menjadi ‘kambing hitam’ adalah ‘cewek kafe’ dengan mengabaikan laki-laki dewasa penduduk lokal penular HIV dan yang tertular HIV.

Jika tidak ada langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV, maka kasus HIV/AIDS di Kab Jembrana akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline